Selaraskah Hidup Kekristenan Kita Dengan Kemuliaan Salib Kristus? (Merenungkan 1 Korintus 1:18-31)

Ada satu masa yang paling tragis, paling brutal, dan paling sia-sia dalam sejarah gereja; masa itu adalah masa Perang Salib.  Dalam periode yang kelam tersebut—yang berlangsung hampir 200 tahun (1096-1291) dan melibatkan beberapa generasi itu—kerajaan-kerajaan besar di Eropa dengan dukungan gereja di bawah Kepausan bertempur habis-habisan dan menaklukkan musuh-musuhnya.  Dalam catatan sejarah, secara keseluruhan ada delapan kali Perang Salib yang dampaknya bukan hanya merambah ke wilayah Eropa saja, melainkan juga Asia Kecil, Siria, Mesir, dan terutama perebutan kota suci Yerusalem di Timur Tengah.

            Apa yang berlangsung selama hampir dua abad itu adalah pasukan tentara kerajaan yang direstui pimpinan gereja bukan hanya melakukan peperangan dan menaklukkan musuh-musuhnya, tetapi juga menjarah, menyita, membunuh, dan satu lagi, secara tidak langsung menyebarkan bibit kebencian dan permusuhan pada golongan bangsa atau umat beragama lain.  Di dalam Perang Salib itu, ada sebuah stigma atau noda yang tertanam pada bangsa dan agama lain, yaitu serdadu-serdadu kerajaan-kerajaan yang terjun ke medan pertempuran, semuanya menjahitkan lambang salib pada pakaian mereka (“the wearing of a cross sewn to [their] clothing”; lih. Williston Walker, et al., A History of the Christian Church [4th ed.; New York: Scribner, 1985] 284), dan lambang itu dipakai oleh setiap prajurit sebagai sumpah untuk wajib ikut dalam peperangan dalam kurun waktu yang kacau tersebut.

            Maka, pertanyaannya adalah: lambang salib yang dijahitkan pakaian serdadu itu merupakan kesaksian yang baik, atau justru sebaliknya, menenggelamkan kesaksian Kristen?  Jawabannya sudah jelas, bukan?  Selama periode dua abad itu, salib telah menjadi lambang perseteruan, antipati, dan kepahitan bagi umat beragama yang lain, karena lambang itu telah dipakai untuk motif penaklukan, penjarahan, pembunuhan, penganiayaan, dan terutama ekspansi teritorial.  Memikirkan hal ini, jangan heran kalau di dalam situasi sekarang banyak orang yang tidak suka pada orang Kristen dan kekristenan, terutama dengan simbol salibnya.

            Tetapi, di manakah ada institusi Kristen atau apalagi gereja yang tidak memakai tanda salib?  Boleh dikata hampir semua gereja tidak ada yang tidak memakai tanda salib.  (Dikatakan “hampir semua,” lantaran memang ada gereja aliran tertentu, misalnya teologi kemakmuran, yang mulai meniadakan tanda salib dalam ruang ibadahnya.)  Bila dihubungkan dengan sejarah gereja, khususnya Perang Salib, dan barangkali juga zaman penjajahan Belanda yang pernah dialami di Indonesia, kita jangan terlalu menyalahkan orang-orang yang ada di Indonesia atau Asia, kalau mereka membenci salib.  Sebab, di dalam kenyataannya, cukup banyak pihak yang memakai salib dengan cara dan motif yang salah.

            Maka, marilah kita dalam peringatan Jumat Agung tahun ini merenungkan dan memikirkan secara mendalam 1 Korintus 1:18-31, khususnya tentang apa kata Alkitab tentang salib dan apa artinya bagi kita sebagai orang percaya.  Menurut D. A. Carson, terlalu sering gereja atau orang Kristen memaknai salib hanya dalam arti tunggal: penebusan Allah melalui Kristus yang mati di atas kayu salib.  Pengartian seperti itu tidak salah, tetapi itu terlalu sempit.  Dalam perikop tersebut, Paulus hendak menekankan secara lebih luas dan jauh, yaitu bahwa salib seharusnya menjadi batu penguji atau standar kehidupan yang benar dari setiap orang Kristen, dan salib juga harus menjadi patokan atau totok ukur terhadap semua pelayanan Kristen (lih. The Cross and Christian Ministry: Leadership Lessons from 1 Corinthians [Grand Rapids: BakerBooks, 2004] 9).  Intinya, keseluruhan kehidupan dan pelayanan seorang Kristen, atau terlebih seorang pelayan Tuhan, harus dikerjakan dengan berlandaskan pada salib sehingga menampakkan kesaksian yang baik serta mempermuliakan nama Tuhan.

SALIB ADALAH SIMBOL KELEMAHAN

            Ketika rasul Paulus berada di kota Efesus selama 2,5 tahun (53-56 M; dalam perjalanan misi yang ketiga), ia menerima laporan kurang enak mengenai perselisihan yang terjadi di jemaat kota Korintus (1Kor. 1:10-13), yang jaraknya 389 km dari Efesus.  Sebetulnya gereja Korintus adalah gereja yang baru terbentuk 3-4 tahun sebelumnya (Kis. 18:1-17), tetapi heran sekali lewat waktu yang relatif singkat di sana sudah bermunculan benih perpecahan dan banyak kekacauan teologis di dalamnya.  Memang kota besar di wilayah Yunani ini adalah kota bisnis, entrepreneur (wirausaha), konsumerisme, turisme, pusat komersial, dan trading, dengan pelabuhan besar yang mendatangkan banyak pengunjung, pekerja, tukang besi, tukang kayu, budak belian, dan tentu saja pedagang, orang pintar (berhikmat), dan orang kaya, dari berbagai wilayah dan latar belakang.  Singkatnya, di kota yang bernuansa kosmopolitan ini beredar kesempatan, kemakmuran, kemewahan, dan kesuksesan, sehingga oleh seorang penafsir, kota Korintus disebut sebagai “New York-nya” atau “Las Vegas-nya” dunia purba yang lengkap dengan segala hedonisme dan perilaku amoral lainnya.

            Lantas, apa persoalan utama di jemaat Korintus?  Tampak sekali bahwa masalah yang sentral di sana adalah masuknya atau merembesnya pengaruh dunia ke dalam gereja.  Idealnya, seharusnya gereja yang mempengaruhi dunia dan memberikan kesaksian yang baik, tetapi di jemaat tersebut yang terjadi malah jauh api dari panggang, sehingga bahkan di dalam jemaat terdapat kasus penyimpangan seksual berupa inses (antara seorang pemuda jemaat dengan ibu tirinya) yang dikategorikan oleh Paulus sebagai “percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah” (5:1).  Sewaktu pengaruh dunia sudah meresap ke dalam gereja, menyusup pula segala amoralitas sekular ke dalam jemaat.  Celakanya, selain persoalan perselisihan yang berpotensi berkembang menjadi perpecahan, gereja di sana berhadapan dengan rangkaian masalah demi masalah sebagaimana yang tercatat pada hampir seluruh pasal kitab 1 Korintus itu.

            Kepada jemaat yang banyak problem, yang tinggal di kota yang penuh dengan kemakmuran, kebebasan, dan kehebatan hikmat orang pintar, Paulus secara tegas menandaskan bahwa segala hikmat orang dunia sama sekali tidak memadai (1:19-21).  Kata “hikmat” (wisdom) di perikop yang kita bahas muncul 10 kali, yang sebagian besarnya adalah ungkapan negatif dari sang rasul terhadap andalan utama manusia di sepanjang zaman, yaitu hikmat, kepandaian, dan kekuatan manusia.  Pada masa itu, orang-orang berhikmat adalah mereka yang dengan filsafatnya mampu menjelaskan makna kehidupan, mengerti tentang alam semesta hingga kematian, menetapkan nilai atau pilihan, serta melakukan kebajikan.  Itulah kekuatan (power) manusia!  Tetapi rasul Paulus membalikkannya demikian: “Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?” (1:20c).  Bahasa to the point-nya: hikmat manusia justru memperlihatkan kelemahan, bahkan kebodohan, manusia!

            Berbarengan dengan itulah ia menandaskan sesuatu yang asing bagi telinga banyak orang: “tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan” (1:23).  Lho, kok, “orang yang tersalib” yang diberitakan?  Bukankah yang tersalib itu bentar lagi akan mati; ngapain dipentingkan?  Bukankah juga pada waktu itu—juga tentu saja masa kini—manusia umumnya cenderung menampilkan kekuatan (power) dan sekaligus membenci kelemahan atau kematian?  Menurut Anthony C. Thiselton, jangankan diberitakan, salib dibicarakan saja sudah mengundang ketidaksenangan pada banyak orang di abad pertama Masehi.  Percakapan tentang salib bisa dianggap sebagai sesuatu yang memalukan (shame), sangat biadab (barbaric), dan lebih dari itu, kegilaan (mania; madness), sebab kematian lewat salib adalah kematian yang sadis, bengis, tidak manusiawi, dan memalukan (“First Corinthians: A Biblical Theology and Hermeneutic for Today,” Scripture and Interpretation 2/1 [2008] 103).

            Sekali lagi, sangat mengherankan Paulus malah mengedepankan penderitaan dan kematian Kristus yang tersalib, yang dipandang orang dunia sebagai simbol kelemahan atau ketiada-harapan.  Hal ini berarti berita tentang salib itu tentunya akan berseberangan dengan “cita-cita” atau keinginan manusia.  Manusia tidak menginginkan kelemahan; bahkan, bisa dikatakan, manusia membenci kelemahan dan tidak respek terhadap aspek kelemahan.  Manusia mencari dan menyukai kekuatan.  Dengan demikian, jelas salib bukan lambang kekuatan manusia.

            Dalam sejarah gereja seperti yang dipaparkan di atas, salib—sungguh disayangkan—sengaja dipakai untuk menjadi simbol kekuatan dan untuk menaklukkan musuh.  Ratusan tahun sebelum Perang Salib pun, sejarah mencatat bahwa Konstantin Agung (280?-337 M) pertama kali memakai lambang salib sebagai simbol kejayaan dan kekuatan.  Pemakaian tanda itu jelas terlihat pada tameng atau perisai yang dipakai oleh prajurit-prajuritnya yang pergi ke medan peperangan.  Kemudian juga, sebagaimana sudah disebutkan, di dalam sejarah Perang Salib, tanda salib disulamkan pada seragam prajurit-prajurit Kristen yang menaklukkan orang-orang yang beragama yang lain.  Dua catatan tentang penggunaan lambang tersebut memang hendak mempertontonkan salib sebagai lambang kekuatan (power) yang malahan bertentangan dengan ajaran firman Tuhan.

            Sebaliknya, dari Alkitab kita tahu bahwa Paulus terang-terangan mengumandangkan bahwa salib adalah simbol kelemahan.  Sesungguhnya juga pada waktu Yesus Kristus disalibkan, kita dapat melihat seorang manusia sejati yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.  Simbol kelemahan yang paling lemah itu dapat disangka sebagai simbol kegagalan.  Simbol kelemahan dan ketidakberdayaan ini tentu saja bukan simbol kekuatan, namun demikian sewaktu Kristus disalibkan—yaitu di tengah kelemahan dan ketidakberdayaan—meluncurlah perkataan-Nya: “Bapa, ampunilah mereka.”  Dalam sejarah umat manusia, tidak pernah ada perkataan yang lebih indah namun yang sedemikian powerful di tengah dunia yang penuh dengan kebencian dan permusuhan.  Jadi, Paulus benar ketika ia berkata: “Sebab . . . yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1:25).

            Itulah spiritualitas yang sesungguhnya dari kekristenan, yaitu spiritualitas di dalam kelemahan dan ketidakberdayaan, di mana setiap orang percaya diajar untuk mengampuni, mengasihi, tidak menjadi marah, membalas, menganiaya, atau menunjukkan power sekalipun ketika kita dirugikan dan dianiaya.  Kristus sudah mengajarkan dan mempraktikkannya demikian.  Kalau kita meneladani Kristus, yang juga Paulus teruskan dan ajarkan, bahwa salib itu adalah kelemahan, kita akan memiliki spiritualitas yang sejati seperti Yesus Kristus.  Karena dengan spiritualitas seperti ini, kita dimampukan untuk melayani semua orang, bahkan yang tidak layak dilayani sekalipun.

            Ngomong-ngomong, spiritualitas jenis apa yang berkembang dalam kehidupan anda selaku orang Kristen?  Saya khawatir akhir-akhir ini cukup makar beredar pengajaran seakan-akan keselamatan dapat diperoleh sepenuhnya melalui usaha atau perbuatan manusia, dan bukan pemberian cuma-cuma lewat karya Kristus di atas kayu salib.  Artinya, ada orang yang percaya bahwa manusialah yang memiliki kualitas, berperan, melakukan sesuatu, atau lebih dari itu, menambahkan kontribusi tertentu (misalnya, kesalehan atau perbuatan baik), sehingga ia dapat menyelamatkan dirinya sendiri, tanpa perlu melalui Dia yang tersalib.  Padahal ajaran yang biblikal justru menegaskan bahwa semua perbuatan, jasa, atau amal manusia seharusnya bersifat nihil dalam kerangka karya keselamatan Allah, sebab jikalau tidak demikian makna anugerah Allah di dalam Kristus yang tersalib menjadi sia-sia dan tidak bernilai sama sekali.

            Saya rasa apa yang dituliskan rasul Paulus dalam Galatia 3:1 terulang kembali pada zaman ini: “Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu?  Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu?”  Istilah “mempesona” (bewitched; fascinated) dapat berarti “menyihir,” “membius,” “menghipnotis,” atau “menawan [pandangan mata seseorang]” sehingga terbelokkan pada yang lain.  Maksudnya, kebenaran tentang salib Kristus tadinya begitu jelas dan terang benderang, kok sekarang tiba-tiba ada orang Kristen yang bisa terbelokkan dan “tertawan” atau “terpikat” pada pandangan teologi yang lain, dan yang lebih dari itu, berseberangan dengan konsep salib.  Hal ini berarti ada orang yang masih beribadah di gereja, namun pandangan matanya sudah tidak dapat lagi melihat Kristus yang tersalib, sekalipun tadinya salib itu amat sangat terang benderang di depan matanya.

            Karena itu, tidak mengherankan, di dalam kekristenan, cukup banyak orang atau gereja justru menampilkan kebalikan dari konsep Kristus yang tersalib, di mana mereka menyuguhkan spiritualitas kekuatan melalui kekuatan retorika, kekuatan keuangan, kekuatan proyek-proyek, dan kekuatan lainnya untuk menambah jumlah anggota gereja (baca: merebut domba jemaat lain).  Demikian pula sering terdengar pergunjingan adanya pendeta yang menjadi batu sandungan, gara-gara mengedepankan kekuasaan, mengejar jabatan, senantiasa haus akan kedudukan, dan terlibat dalam perebutan properti atau harta benda.  Belum lagi beberapa tahun belakangan ini santer dibicarakan adanya sinode, lembaga Kristen, atau sekolah teologi yang mengalami perselisihan dan perpecahan karena masalah kepengurusan yang berkuasa secara otoritarian, di mana pemimpinnya sampai-sampai mempergunakan kekuatan sekular (misalnya, sewa pengacara beken yang tentunya dibayar mahal) demi memenangkan perebutan aset, atau berusaha memiliki absolute power dengan tujuan supaya kekuasaan dan kedudukannya dapat dipertahankan selamanya.

            Semua itu langsung berseberangan dengan spiritualitas salib, sebab salib melambangkan kelemahan, bukan kekuatan manusia.  Waktu Kristus disalib, seolah-olah kita melihat ada kegagalan di situ.  Justru pada waktu kita memikirkan kematian para rasul dan orang Kristen mula-mula, kita bertanya, kenapa Tuhan membiarkan gereja di dalam keadaan seperti itu?  Satu per satu tokoh gereja seolah-olah menyerah pada “nasib” dan penganiayaan dari pihak lain, dimulai dari para rasul, kemudian jemaat Kristen mula-mula, dan juga para bapa gereja.  Apakah Tuhan tidak kasihan kepada mereka?  Apakah Tuhan tidak ingin memperlihatkan sesuatu yang lain sebagai kekuatan kekristenan?  Saya heran melihat itu.  Malahan, terkesan Tuhan membiarkan kematian dan penderitaan terjadi di dalam sejarah gereja, sehingga spiritualitas yang sejati berkembang dari sana, yang dilanjutkan dengan terbangunnya gereja, yang bahkan meluas dan meragi sampai ke seluruh dunia.  Ini semua terjadi dan berlangsung sewaktu cara salib ditampilkan di dalam kelemahan dan bukan di dalam kekuatan manusia.  Bagaimana dengan kiprah gereja saudara di zaman ini?  Spiritualitas apa yang ditampilkan dalam pelayanan gereja?

SALIB ADALAH SIMBOL KEMULIAAN

            Sekali lagi saya ulangi: Korintus adalah kota kosmopolitan, yang merupakan kota besar dengan keragaman manusia, latar belakang, profesi, dan satu lagi, keberbagaian kepercayaan.  Dengan begitu, kota ini sangat mirip dengan kota besar modern pada masa kini dengan macam-macam suku, ras, dan pluralitas keyakinan.  Perhatikan: di tengah kepelbagaian dan keragaman manusia dan kepercayaan, Paulus sampai-sampai memberikan amanat kepada jemaat untuk menggarami lingkungan budaya dan masyarakat setempat dengan komitmen yang jelas supaya mereka tetap “[memuliakan] Allah dengan tubuh [mereka]” (6:20).

            Pada saat yang bersamaan, sang rasul sendiri bertekad untuk mantap “memberitakan Kristus yang tersalib” meskipun message tentang injil salib tersebut “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1:23; bdk. 2:2).  Hal ini jelas menandakan bahwa inti sari dari injil adalah salib, dan pelayan Tuhan yang sungguh berniat hendak memberitakan injil, ia harus terfokus untuk memberitakan Kristus yang tersalib, sekalipun ada yang memandangnya sebagai batu sandungan atau kebodohan.

            Mengapa berita salib menjadi batu sandungan bagi orang Yahudi?  Batu sandungan (Yun. skandalon) asalnya adalah sejenis tongkat yang dipasang sebagai jebakan, khususnya orang yang sedang berjalan dan tidak berhati-hati, tongkat jebakan itu akan membuat ia tersandung, terjatuh, dan perjalanannya terhalang.  Dalam konteks kepercayaan, skandalon akan membuat seseorang menaruh curiga, terganggu pikirannya, dan akhirnya menjadi kecewa.  Ketika Tuhan Yesus mulai berkiprah pada bagian awal pelayanannya, orang Yahudi pada zaman itu menaruh pengharapan yang besar pada kemunculan sang Mesias, tetapi setelah Ia mengumumkan bahwa Anak Manusia (yaitu sang Mesias) akan menderita dan mati di atas kayu salib, realitas itu menjadi sebuah skandalon bagi mereka, oleh karena kenyataan itu berseberangan dengan konsep mereka tentang Mesias yang sudah terpatok (yaitu Mesias seharusnya adalah jagoan, pahlawan, idola yang tidak dapat mati, sehingga dapat membebaskan mereka dari penjajahan Romawi).  Sampai hari ini, bagi orang Yahudi (dan juga sangat mungkin bagi orang modern masa kini), Yesus Kristus yang menderita dan mati tersalib adalah sebuah skandalon yang tidak dapat diterima dalam benak dan kerangka berpikir mereka.

            Lalu, mengapa berita salib adalah kebodohan bagi orang bukan Yahudi?  Bagi kalangan Yunani dan Romawi, seseorang yang memberikan diri atau mengorbankan dirinya adalah sesuatu yang tidak masuk di akal, sebuah kebodohan, sebuah lelucon, dan sama sekali bukan sebuah kebajikan, apalagi sampai mati di atas kayu salib.  Lebih dari itu, mereka berpandangan bahwa yang ilahi tidak dapat memasuki atau mengintervensi urusan sehari-hari dari manusia.  Dengan demikian, pemikiran tentang Allah menjadi manusia dalam inkarnasi Kristus dan terlebih kematian yang ilahi di atas kayu salib adalah sebuah pemikiran yang irasional bagi mereka.  Itulah sebabnya salib merupakan sebuah kebodohan bagi orang Yunani-Romawi, dan bisa saja kalangan yang rasionalistis di zaman kekinian juga menganggapnya sebagai sebuah kebodohan.

            Apabila kita meringkaskan argumen Paulus, maka yang hendak ia katakan adalah sebagai berikut: Hikmat manusia justru memperlihatkan kelemahan dan kebodohan manusia; tetapi manusia tidak menginginkan kelemahan, maka mereka menampilkan kekuatan (power).  Sebaliknya, firman Tuhan membuat pengakuan bahwa salib memang adalah simbol kelemahan dan “pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,” namun bagi orang percaya “pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1:18).  Jikalau manusia sekular (atau bisa juga teolog modern masa kini) menganggap salib sebagai batu sandungan atau kebodohan, hal itu menandakan pikiran mereka tentang salib sudah terbelokkan atau tertawan pada teologi yang lain persis seperti yang terjadi pada jemaat di Galatia (Gal. 3:1).

            Artinya, bagi Paulus, salib adalah segalanya, di mana Allah membuka pintu keselamatan lewat iman bagi yang percaya.  Melalui saliblah, orang percaya sudah diberikan jaminan dalam kehidupan kekinian maupun kehidupan kekal, baik lingkup jasmaniah maupun spiritual, baik berkat untuk hidup sekarang maupun berkat sorgawi nanti (Rm. 8:32: “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua [konotasi salib], bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”).  Hal ini secara terang benderang menunjukkan: barangsiapa yang percaya kepada salib, ia akan mewarisi segala sesuatu berupa berkat sorgawi dari Tuhan, dan sebaliknya barangsiapa menolak salib, ia tidak berhak memperoleh apa-apa, dan sebaliknya, murka Allah akan tertimpa dalam kehidupannya di saat ini dan di kekekalan nanti (bdk. Yoh. 3:18, 36).  Demikian pula siapa pun yang membelokkan ajaran tentang salib atau pun yang mengaburkan inti dari injil tentang salib, orang itu akan kehilangan segala jaminan dalam kehidupan kekinian maupun kehidupan kekal, baik lingkup jasmaniah maupun spiritual, baik berkat untuk hidup sekarang maupun berkat sorgawi nanti.

            Jadi, di tengah kota Korintus yang sangat mengagumi kemewahan, kemakmuran, kejayaan, dan kesuksesan, yang dibangun oleh kekuatan dan hikmat manusia, Paulus mengingatkan seluruh orang percaya di sana mengenai titik permulaan mereka beriman pada Kristus yang tersalib: “Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang” (1:26).  Secara tidak langsung ia hendak menyadarkan jemaat bahwa dahulu sebelum percaya pada salib, mereka adalah “nothings (bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa), namun sekarang, setelah percaya pada pemberitaan anugerah salib, mereka menjadi “somebodies (sebut saja: orang yang penting dan berharga di hadirat Tuhan).  Bukankah itu berarti hanya melalui karya salib Kristus, orang percaya dapat memiliki status yang baru di hadapan Tuhan, kesaksian yang baik, serta hidup yang mampu memuliakan nama Tuhan?

            Aspek “kemuliaan” yang riil dan langgeng inilah yang telah dikerjakan oleh Kristus satu kali dan untuk selamanya lewat salib, dan manusia tidak dapat mengupayakan dari dirinya sendiri.  Manusia hanya dapat “menciptakan” kemuliaan semu untuk sementara di tengah kemewahan, kesuksesan, dan kemakmuran, lewat prestasi yang dicapainya atau segala sesuatu yang ada dalam dunia ini.  Sebab itu, Paulus berusaha menyadarkan jemaat Korintus, supaya mereka jangan “memegahkan dirinya atas manusia [glory in human persons]” (3:21); sebaliknya, “Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan” (“He who glories, let him glory in theLord”; 1:31).

            Dari sini, semua orang beriman harus menjadi jelas bahwa kesaksian hidup, sukacita, kekuatan, prestasi, pencapaian, dan terlebih kemampuan memuliakan Tuhan, adalah karya Tuhan semata, bukan hasil pekerjaan, apalagi pencitraan kosmetik, lewat usaha manusia.  Karena itu, Paulus sungguh benar: “Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting?  Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima?  Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” (4:7).  Dengan demikian, kemuliaan Allah lewat salib yang diimani seseorang akan langsung terkait erat dengan karakter dan tabiat yang baik dari orang percaya dan terutama orang yang melayani pekerjaan Tuhan.

PENUTUP

            Pada suatu hari Minggu saya pernah melihat seorang pendeta, sesudah menyampaikan firman Tuhan, ia keluar ke tempat parkir, masih dengan baju pendetanya dengan tanda salib dari emas yang beratnya 5 gram, tersemat di jas hitamnya.  Ia berjalan menuju kendaraannya.  Tiba-tiba seseorang menyenggolnya dan ternyata memang kesalahan orang itu.  Namun satu hal yang saya saksikan sendiri dan tidak bisa saya mengerti, yaitu keluarlah sumpah serapah, makian, dan kata-kata yang keras sekali meluncur dari mulut hamba Tuhan itu, yang tampaknya baru selesai berkhotbah dan masih lengkap dengan tanda salib di baju hitamnya.  Saya terkejut bukan main, sambil berpikir: jangan-jangan, melalui kasus semacam inilah, ada orang Kristen, pemimpin Kristen, dan hamba Tuhan yang sering membawa-bawa nama atau simbol kekristenan, malah membuat salib menjadi batu sandungan lewat kehidupan, perkataan, perilaku mereka yang memberikan kesaksian yang buruk di muka orang dunia.

            Seharusnya salib menjadi batu sandungan karena pemberitaan injil, dan injil menjadi batu sandungan itu baru terjadi, bila orang mendengarnya dan mereka bereaksi tidak suka.  Tetapi jangan sampai injil salib menjadi batu sandungan akibat kelemahan pribadi, tabiat buruk, kebencian, cacat karakter, atau ambisi kebablasan yang tidak memuliakan Tuhan.  Berapa banyak orang awam, simpatisan, atau anggota yang meninggalkan gereja Tuhan, justru disebabkan oleh orang Kristen atau pemimpin Kristen yang memiliki sifat dan kepemimpinan yang menjadi batu sandungan, misalnya sering bertengkar, pemarah, sering berbohong/berkelit, cinta uang, haus kekuasaan, atau menjadi skandalon dalam urusan leadership, integritas seksualitas, dan masalah keretakan rumah tangga?  Berapa banyak orang dunia yang menertawakan, mencemooh, dan mengejek kekristenan (yang katanya memiliki Tuhan yang hidup) gara-gara di dalam gereja ada konflik, di dalam klasis ada perselisihan, di dalam sinode ada kekacauan dan ketidakjelasan penggunaan keuangan?

            Karena itu, perkataan A. W. Tozer (yang disadur dari rekaman audio) berikut ini patut didengarkan.  Ketika berbicara di depan para misionaris, para hamba Tuhan, dan orang-orang yang pergi ke ladang misi penginjilan, ia berkata: “Saya ingin mengejutkan saudara dengan sebuah statement.  Barangkali ada di antara saudara di sini yang berpikir, bahwa misi penginjilan dan memenangkan jiwa adalah yang utama dan yang pertama.  Saya katakan: Tidak!  Misi penginjilan dan mencari jiwa bukan yang utama.  Yang paling utama adalah: hidup saudara dan saya harus meninggikan salib Kristus dan memuliakan Tuhan, di mana pun saudara berada.”

            Tentu saja Tozer tidak bermaksud mengatakan misi dan penginjilan tidak penting atau tidak utama sama sekali; yang ia hendak tekankan adalah: dibandingkan dengan pelayanan misi/penginjilan, ada yang lebih penting, bahkan paling penting, dalam kehidupan iman, yaitu seseorang yang meninggikan salib Kristus, memberikan kesaksian yang baik, dan mempermuliakan nama Tuhan.  Hanya melalui cara itulah kita dapat membawa banyak orang datang kepada Kristus dan salib Kristus semakin ditinggikan.  Maka, pertanyaannya: jikalau di dalam sejarah gereja salib pernah dengan sengaja dipakai untuk menjadi simbol kekuatan dan untuk menaklukkan musuh, dan di dalam gereja masa kini ada orang Kristen atau pemimpin Kristen yang malah membuat salib menjadi batu sandungan lewat kehidupan mereka yang memberikan kesaksian yang buruk, apa yang kita utamakan dalam hidup sekarang ini dan kesaksian seperti apa yang ada dalam pelayanan kita saat ini?  Biarlah kita semua dengan jujur, sesal, dan malu mengaku di hadapan salib Kristus pada Jumat Agung tahun ini!