Semprotan Kebohongan Dalam Dunia Yang Suram Kebenaran

Rusia sedang berperang melawan Ukraina, semua orang sudah tahu.  Tetapi apakah semua orang sadar bahwa ada perang yang lain, yang tidak kelihatan, yang sedang berlangsung, yaitu perang informasi?  Yang dimaksud dengan perang informasi adalah banyaknya berita atau info palsu yang beredar dari kedua kubu, maupun dari para pendukungnya.  Sebagai contoh, berita tentang jumlah korban bisa berbeda-beda di antara kedua pihak (Ukraina menyebut 11 ribu tentara Rusia tewas; Rusia sendiri mengaku cuma 487 yang tewas), termasuk tentang kehancuran alat perang (misalnya, Rusia mengeklaim 900 tank Ukraina rontok; Ukraina menyebut ada 300 tank Rusia terpenggal).  Lantas, masing-masing pihak menuduh seterunya berbohong.

            Di media sosial pun dapat dijumpai penyebaran video yang katanya berasal dari medan pertempuran, namun setelah dilakukan fact-check ternyata tidak sesuai fakta alias bohong.  Misalnya, ada rekaman yang menurut pihak Rusia, dibuat oleh wartawan Ukraina: isinya tentang kantong-kantong mayat korban rudal Rusia, yang ternyata waktu direkam ada satu kantong “mayat” bergerak, menandakan itu semua adalah sandiwara.  Setelah dilakukan fact-check, video itu aslinya adalah demo protes climate change di Austria bulan Februari 2022, di mana seratus orang lebih (orang hidup, ya) memparodikan diri sebagai mayat-mayatan dalam kantong-kantong.  Jelas video ini di-upload dan dipakai oleh pihak Rusia untuk menjatuhkan spirit Ukraina.

            Kemudian, ada lagi video pendek yang tampaknya dibuat pihak Ukraina yang memperlihatkan seolah terjadi serangan Rusia pada malam hari, ketika kondisi gelap gulita, tampak beberapa pesawat melintasi langit; dari kejauhan terdengar bunyi sirene dan tembakan senjata antipesawat.  Tetapi video tersebut terlihat janggal dan kondisi pencahayaan mirip dengan video game, atau paling sedikit CGI (Computer-Generated Imagery).  Setelah dilakukan fact-check, terdapat beberapa video CGI yang mirip dengan yang sudah ada beberapa waktu sebelum serangan Rusia ke Ukraina.

            Apa artinya?  Artinya, kedua kubu (masing-masing dengan negara pendukung dan pasukan buzzer-nya) sama-sama memanfaatkan media virtual untuk melakukan duplikasi, pengelabuan, atau kebohongan.  Inilah yang dinamakan cara propaganda “semprotan kepalsuan” (firehose of falsehood) yang pernah dipergunakan misalnya oleh Rusia ketika menyerbu ke Georgia tahun 2008.  Metodenya adalah menyebarkan kegaduhan atau berita kontroversial yang bermuatan kebohongan secara cepat, terus-menerus, dan berulang-ulang khususnya melalui dunia maya yang sulit dilacak.  Konten yang dipropagandakan biasanya bersifat menyerang lawan dengan data yang ngawur atau tidak benar untuk mengecoh orang banyak.  Yang mengherankan adalah banyak kalangan di abad 21 ini mudah termakan berita kebohongan ini, dan menelannya mentah-mentah, termasuk masyarakat kita di Indonesia.  Itulah sebabnya mayoritas orang di sini bersikap pro-Rusia, sekalipun jelas-jelas Rusia adalah aggresor yang melakukan penyerangan terhadap negara lain.  Hal ini menandakan penyebaran informasi palsu dari pihak Rusia di Indonesia cukup “berhasil” dipompakan kepada para pengguna media sosial.

            Sebenarnya perang informasi (palsu) bukan bagian dari sebuah ketegangan atau permusuhan antar-negara (yang biasanya cekcok yang dipicu oleh persoalan perebutan wilayah/teritori), tetapi yang “menakjubkan” adalah hal itu dikerjakan oleh para buzzer wolf-warriors yang dibiayai secara masif dan bekerja melakukan penyebaran info palsu secara sistematis dan bertubi-tubi, apalagi di zaman teknologi yang sedemikian maju, instan, dan cepat, teristimewa lewat gambar/video/audiovisual yang disalurkan lebih super kilat ketimbang kata-kata.

            Puluhan tahun yang lalu, bila ada pihak yang mau menyebarkan informasi benar atau palsu (misalnya, pemerintah di negara tertutup), berita itu disalurkan menggunakan surat kabar atau televisi, dan itupun harus dilakukan oleh pejabat/figur berkedudukan tinggi, atau orang yang terkenal.  Tetapi, lihatlah sekarang, semua orang seakan berlomba meng-upload data, informasi, gosip, atau video apa saja, termasuk muatan yang bernuansa SARA, melalui sarana YouTube, TikTok, Instagram, dan seterusnya.  Di masa lalu, orang akan berpikir seribu kali bila ia berniat menyebarkan info atau video palsu (apalagi di negara-negara yang ketat badan sensornya), namun saat ini semuanya tampak kendor dan sepertinya orang begitu bebas “berbicara” dan “berpendapat” tanpa kendali.  Setelah ada yang tersinggung atau melaporkan konten yang ternyata “meresahkan,” barulah aparat mulai sibuk bertindak, persis seperti yang ada di film-film India.

            Dewasa ini, situasi semakin bertambah runyam, lantaran informasi atau berita yang resmi, yaitu informasi yang sudah disaring, diklarifikasi, atau dikonfirmasikan kepada sumber yang bisa dipercaya, baru kemudian dicetak atau disiarkan—yang dahulu disampaikan via media televisi, surat kabar, atau radio—jumlahnya semakin sedikit dan bahkan meredup (coba tanya: berapa banyak di antara sodara-sodara yang masih sering membuka kanal TVRI atau radio RRI?  Kalau ada, berarti anda termasuk minoritas remnant dari zaman old yang masih berlangganan atau membeli koran cetak di lampu merah perempatan jalan).  Celakanya, berita lintas media sosial yang berisi muatan sensasional atau informasi yang dibumbui dengan desas-desus, fitnah, kabar burung, dan kebohongan, justru semakin marak dan laku, terlebih lagi para aktor dan penjahat di dunia virtual makin sulit terdeteksi atau tertangkap, lantaran banyak yang pandai memanfaatkan blog gelap, portal palsu, dan nama yang samaran.

            Heran sekali, bila selaku orang Kristen, kita menganggap situasi sekarang ok-ok saja, di mana kebenaran semakin buram, dan sebaliknya, kepalsuan atau hal-hal yang bermakna setengah kebenaran semakin populer, khususnya yang beredar via media daring.  Tambahan lagi, bagi sementara orang, tampilan kebenaran dan kepalsuan, setengah kebenaran dan kebohongan, tampak sama saja di hadirat mereka, dan lebih gawat lagi, bagi sebagian orang lagi, kebohongan terlihat lebih menarik, apalagi bila disampaikan dengan retorika yang lihai oleh pembicara fasih, yang membawakan topik yang sensasional atau kontroversial.  Kalau di negara Barat yang serba-rasional saja bisa ada orang yang mudah “termakan” informasi palsu atau kebohongan melalui dunia maya, lebih-lebih lagi di negara emerging seperti Indonesia.  Lalu, apa pemikiran kita tentang situasi yang berkembang saat ini?  Apa konsep saudara tentang kebenaran dan bagaimana seharusnya seorang Kristen bersikap di masa kebenaran menjadi semakin suram?

KEBENARAN (BERUSAHA) DIREDUPKAN KEBOHONGAN

            Sebagai orang Kristen, kita mengatakan kebenaran itu ada, kita mengaku telah mendengar, menerima, dan sekarang memiliki kebenaran melalui Kristus dan firman-Nya.  Malahan lebih dari itu, seharusnya kita menegaskan bahwa kebenaran itu sangat penting dan esensial, karena kebenaran Allah di dalam Kristus-lah yang menyelamatkan hidup kita dan yang menuntun kita mengarungi zaman demi zaman agar tidak terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran.  Produk positifnya, kebenaran itulah yang mengarahkan kita untuk meninjau dengan tepat segala isu dan persoalan yang melanda dunia di setiap masa dan tempat.  Namun demikian, pertanyaannya: apakah kita memahami arti/makna kebenaran (truth) sebagaimana yang diajarkan dalam Alkitab?

            Di dalam PL kata “kebenaran” (emet) lebih sering menunjuk kepada kesetiaan umat Israel pada perjanjian dengan Allah (lih. F. Brown, S. Driver, C. Briggs, The Brown-Driver-Briggs Hebrew and English Lexicon [Peabody: Hendrickson, 2015] 54).  Kebenaran berkaitan dengan manusia yang hidup memenuhi suatu standar untuk mencapai apa yang seharusnya.  Tekanan paling kuat diletakkan pada kesetiaan Allah (mis. Za. 8:8; Mzm. 111:7-8), sehingga apa yang dikatakan tentang Allah dapat dikenakan pada manusia, karena kesetiaan manusia merefleksikan kesetiaan Allah (Yos. 24:14; Mzm. 145:18; lih. Roger Nicole, “The Biblical Concept of Truth” dalam Scripture and Truth [eds. D. A. Carson & John Woodbridge; Grand Rapids: Baker Academic, 1992] 288-289).  Di dalam PB istilah “kebenaran” (aletheia) lebih sering menunjuk kepada integritas perkataan, aksi, serta pemikiran seseorang, dan itulah sebabnya setiap orang beriman dinasihatkan supaya ia tidak hanya mengenal kebenaran itu, tetapi juga harus berjalan dan hidup di dalamnya.

            Selain mempunyai makna “kesetiaan,” kebenaran selalu berselaraskan dengan fakta (conformity to fact), di mana keduanya sama-sama tidak boleh dikurangi sedikit pun, dan keduanya tidak saling bertentangan.  Hal ini berarti, kita bisa yakin pada kebenaran (termasuk yakin pada orang yang menyatakan kebenaran), karena ia selalu bersesuaian dengan fakta atau realitas.  Intinya, orang yang benar pada realitasnya adalah asli apa adanya, transparan, dan sama sekali tidak ada kepalsuan di dalamnya, sehingga ia disebut dapat dipercaya dan dapat diandalkan.  Orang semacam ini akan senantiasa memiliki kerohanian yang stabil, hanya mengutarakan kebenaran, dan amat sangat berhati-hati ketika mendengar atau mendeteksi ketidakbenaran atau hal-hal yang bernuansa setengah kebenaran.

            Jadi, yang ditekankan di dalam Alkitab adalah seseorang secara konstan dan stabil senantiasa hidup di dalam kebenaran atau melakukan/mengatakan kebenaran (1Yoh. 1:6), yang merupakan lawan dari hidup di dalam kegelapan, atau tidak menaati kebenaran (Gal. 5:7; 1Ptr. 1:22; bdk. Rm 2:8), dan cenderung malah hidup dalam kebohongan (Yer. 8:8).  Dengan demikian pengujian yang paling final dan paling esensial bagi orang yang mengatakan dirinya ber-kebenaran adalah ia harus hidup di dalam kebenaran, berpikir menurut kaidah kebenaran, berani mengungkapkan kebenaran, dan tentu saja siap sedia melakukan kebenaran, yang berselarasan dengan Allah yang benar dan yang adalah kebenaran itu sendiri.

            Konsekuensinya, seorang Kristen, atau terlebih lagi, seorang pelayan Tuhan, harus mampu membedakan antara yang benar dan yang palsu/bohong, antara yang benar dan yang mirip yang benar, serta mampu mendeteksi wilayah abu-abu yang kabur di antara keduanya.  Di dalam Alkitab, contoh yang paling gamblang mengenai hal ini, terjadi ketika Elia secara dramatis berhadapan dengan 400 nabi palsu dari Baal di gunung Karmel (1Raj. 18:20-40).  Pada waktu itulah ia mengonfrontir mereka dengan pilihan di antara dua klaim kebenaran yang sama-sama eksklusif: “Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati?  Kalau TUHAN itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia” (ay. 21).  Di sini Elia mengajak rakyat Israel melihat bahwa Yahweh adalah Allah yang sudah secara absolut dan konsisten terbukti kesetiaan dan kebenaran-Nya dalam kronologi sejarah umat Tuhan.

            Selanjutnya, sang nabi mengajak mereka untuk mengambil keputusan menerima kebenaran berdasarkan bukti, dan itulah yang dimintanya dari Tuhan, yaitu agar Tuhan yang melaksanakan proses serta pengadaan buktinya (“Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya”; ay. 38).  Tujuannya jelas, yakni agar para lawannya tahu bahwa Allahnya Elia benar-benar hidup (perh. ayat 36 “. . . biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah . . .”; ayat 37 “. . . supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah . . .”), dan supaya melalui bukti itu Tuhan yang membuat mereka bertobat kembali (ay. 37b).  Pada puncaknya, ketika seluruh pemerhati peristiwa itu melihat bukti kuasa Tuhan dan kebenaran-Nya, mereka diinsyafkan akan kekeliruan mereka serta mengaku bahwa Tuhanlah yang berjaya (ay 39).

            Apa yang terjadi di Gunung Karmel itu adalah bahwa kebenaran Allah berselarasan dengan fakta di mana Ia terbukti setia pada umat-Nya, dan sekaligus Ia mengonfrontir umat yang cenderung menyukai hidup dalam pemberhalaan, kepalsuan, dan kebohongan.  Hal ini mirip dengan apa yang dikonfrontir oleh rasul Paulus dalam Roma 1:25: “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta [kebohongan] dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya.”

            Yang menarik adalah: sama seperti Elia yang berhadapan dengan penyembahan Baal, Paulus menegaskan bahwa setelah manusia membuang kebenaran, mereka hidup dalam kebohongan, di mana kebohongan itu menjadi semacam penyembahan berhala, dan kebohongan itu (baca: pemberhalaan itu) akan meredupkan kebenaran Allah atau kebenaran rohani dari firman Allah.  Pada akhirnya, orang yang suka berbohong—dan tidak hidup dalam kebenaran atau membenci kebenaran—sulit sekali menerima pengajaran atau kebenaran apa pun dari Alkitab yang adalah firman Allah.

            Demikian pula rasul Yohanes di hari tuanya mengingatkan (1Yoh. 4:6): bahwa dalam dunia yang semakin tidak menentu, anak-anak Tuhan harus mampu memilah perbedaan antara Roh kebenaran (the Spirit of truth) dengan roh yang menyesatkan (the spirit of falsehood).  Orang yang memiliki Roh kebenaran dengan sendirinya akan memiliki suatu kesadaran bahwa mereka memiliki senjata firman Allah, mereka mengerti/menguasai firman Allah, dan mereka menjadikan firman Allah sebagai alat untuk mendeteksi ajaran-ajaran yang tidak benar atau menyesatkan.

            Maka, apabila orang percaya dan hamba Tuhan ingin memiliki hidup yang penuh dengan kuasa dan hikmat, ia tidak boleh mencari pegangan absolut di luar firman Allah, sebab firman Allah adalah satu-satunya otoritas tertinggi di mana Roh Kudus bekerja (“yaitu Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita”; 1Yoh. 3:24), dan firman Allah adalah alat untuk mendeteksi segala kepalsuan, termasuk pekerjaan atau ajaran dari pengajar/pendeta palsu.  Lebih dari itu, dari firman Allah, seorang percaya (teristimewa seorang rohaniwan), harus memiliki suatu kepekaan atau perasaan bahwa ada yang salah ketika berhadapan dengan roh yang menyesatkan.  Singkatnya, ia harus memiliki “a sense of what is wrong” ketika berhadapan dengan segala penyimpangan dalam dunia yang gelap ini.

            Hal ini menandakan roh kebohongan atau roh yang menyesatkan itu bukan hanya marak di lingkup dunia sekular, melainkan juga sejak zaman lampau, dan lebih-lebih lagi pada masa sekarang ini, santer dan deras terlihat di gereja-gereja, atau pada rohaniwan tertentu yang melayani persis seperti dukun rohani.  Tentu saja mereka tidak akan mengaku bahwa di dalam dirinya ada roh kebohongan, lantaran kalau ada yang terang-terangan seperti itu, kelihatan sekali kebodohannya yang tidak mengenal batas.

            Sebaliknya, mereka akan secara lihai menampilkan “kesaktian”nya secara subtle (licin dan licik), seperti misalnya: mengaku sering mendapat penglihatan atau nubuat, dapat melihat setan (kecuali setan pada dirinya sendiri), makhluk halus/gaib atau arwah orang yang sudah meninggal, mengaku dapat melihat penampakan halo atau kemuliaan di wajah penderita sakit atau orang yang menjelang ajal, mengaku dapat melihat wujud atau bentuk sorga atau neraka.  Pendeknya, semua kisah spektakuler tersebut akan membuat orang awam melongo sambil mulutnya celangap sambil mendesis: “wah, hebat nih boksu.”  Sekali lagi, semua itu dikemas supaya orang terpesona dan dalam hatinya berkata: “Ini adalah spiritual leader” (lebih tepatnya: ayatullah iman).

            Pemimpin atau pendeta seperti itu biasanya dianggap tidak bisa salah (infallible), dan kalaupun suatu kali terbukti berbuat kesalahan, kesalahan itu selalu ditafsirkan atau dianulir sedemikian rupa dan dihilangkan begitu saja oleh rekan/majelis “garda republiknya.”  Setelah itu, mereka akan berapologia bahwa jasa dan prestasi si boksu lebih besar daripada kesalahannya, atau kemampuan dan kepandaiannya masih dibutuhkan, sehingga hal itu dianggap dapat menutupi celanya.  Itulah sebabnya ada pimpinan teratas gereja-gereja yang beraliran injili, ekumenikal, pentakosta, atau karismatik, yang jatuh dalam dosa atau moralitasnya bermasalah (misalnya, tamak dan korup dalam hal keuangan), tetapi mereka tidak didisiplin-gerejawikan dan tetap melayani.  Karena apa?  Karena mereka menempatkan dirinya di atas kebenaran, bukan di bawah kebenaran.

            Berkali-kali ada majelis jemaat dan orang awam yang ngadu ke saya tentang pendetanya yang dikatakan suka bersilat lidah (maksudnya: suka berbohong), karismanya sedemikian menonjol, galak, dan satu lagi, gak bisa dibilangin, sehingga semua pengurus gereja dan sinode cenderung menutup sebelah mata atau, setelah tidak tahan, menutup kedua belah mata.  Jadi, selain suka ngibul, sang boksuis never at a loss of words” alias pandai berkelit dan majelis/jemaat selalu “kalah ngomong.”  Jikalau ada rekan pendeta, penginjil, atau penatua/majelis yang berani-beranian mengatakan kebenaran sambil memberikan teguran atau kritik, orang-orang itu biasanya tidak dipromosikan atau, bisa dipastikan, digusur dari kepengurusan.  Bukankah di dalam gereja semacam ini kebenaran benar-benar sudah diredupkan oleh kebohongan dalam lingkungan umat Tuhan?  Suram sekali masa depan kekristenan bila cukup banyak gereja atau rohaniwan sejenis ini!

KEBENARAN ALLAH BERHADAPAN DENGAN “KEBENARAN” SI JAHAT

            Berkali-kali ada jemaat, aktivis, dan hamba Tuhan yang bertanya kepada saya: “Kenapa, ya, gereja/aliran yang palsu itu banyak pengikutnya?”  Atau, “Kenapa ada pendeta yang jelas-jelas tidak benar dan ajarannya seperti dukun, tapi cukup banyak followers-nya?”  Di sinilah kita dapat melihat “saktinya” percampuran antara “kebenaran” yang sudah di-blending dengan kebohongan dan kemunafikan.  Lewat kemasan yang canggih, kontroversial, sensasional, bombastis, dan tentu saja, menarik, mereka meracik “kebenaran” sedemikian rupa dengan isi yang memikat dengan tujuan “membius” audience untuk mempercayai isi message-nya.

            Pendeknya, setelah kebenaran yang asli berhasil diburamkan, tidak berarti manusia (baca: pengajar palsu) tidak membutuhkan sebuah “kebenaran.”  Tujuannya, tentu saja supaya tetap terlihat lurus, bersih, dan tak bercacat, di mana mereka memakai cara tertentu untuk menciptakan, mendefinisikan, dan menguraikan kebenaran dengan versi baru yang keren (yang sebenarnya adalah kebenaran abal-abalan alias kebohongan yang dibalut dalam kemunafikan).  Dengan kata lain, mereka melakukan penyamaran sebagai orang “benar” dan tampilan yang tampak secara luaran/eksternal telah dipoles sebegitu rupa agar terlihat baik, menarik, meyakinkan, dan religius.

            Pertanyaannya: dari mana sebetulnya “sumber” atau asal-usul sehingga manusia bisa menjadi begitu “kreatif” namun jahat?  Bila kita menyelidiki firman Tuhan dengan teliti, terlihatlah bahwa persoalan tentang kebenaran (truth) dapat ditelusuri sepagi sejak di Taman Eden, di mana manusia pertama mulai meragukan kebenaran perkataan Allah, yaitu apakah perkataan Tuhan yang benar, ketika Ia mengatakan “pastilah engkau mati” (Kej. 2:17b), ataukah perkataan ular (yaitu si jahat) yang benar, ketika ia berkata “Sekali-kali engkau tidak akan mati”(Kej. 3:4)?  Di sinilah terjadi pertentangan antara kebenaran dan kebohongan yang sudah berlangsung setua usia peradaban manusia.

            Lantas, siapa aktor utama yang berperan memutarbalikkan kebenaran menjadi kebohongan?  Derek Kidner memberikan jawabannya sewaktu ia menafsirkan Kejadian 3:15: “ . . . only the New Testament will unmask the figure of Satan behind the serpent” (“ . . . hanya PB yang dapat menyingkapkan figur Iblis di balik sang ular”; Genesis [Tyndale OT Commentaries; Downers Grove: InterVarsity, 2019] 75).  Terlihatlah seperti yang disingkapkan dalam PB jelas bahwa Hawa tertipu oleh ular, yang di belakangnya ada professional liar yang disebut “bapa segala dusta.”

            Ungkapan “bapa segala dusta” sejatinya diucapkan oleh Tuhan Yesus sendiri dalam Yohanes 8:44 di mana Ia secara mengejutkan menyebutkan istilah itu yang ditujukan kepada orang Farisi dengan kata-kata yang amat sangat keras: “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.  Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran.  Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.”  Perhatikan: orang Farisi—yang biasanya tampil religius (di bumi nusantara, yang beginian banyak nih), dan suka “menganggap dirinya benar” (Luk. 18:9)—tiba-tiba diatribusikan oleh Tuhan Yesus sebagai “anak-anak” dari “bapa segala dusta.”  Hal ini memperlihatkan bahwa seseorang yang beragama dan merasa diri benar, tidaklah cukup untuk disebut benar di hadirat Tuhan Allah, teristimewa bila yang bersangkutan telah terasosiasi dengan kuasa kegelapan.

            Jadi, ungkapan “sejak semula” jelas menunjuk pada peristiwa Taman Eden (Kej. 3), yaitu ketika Iblis menjatuhkan manusia pertama dengan kebohongan yang licin dan mematikan, karena memang ia adalah pencipta kebohongan.  Menurut Dallas G. Denery II, Iblislah yang “invented the lie, and it is an invention that defines and mars his very essence and existence” (The Devil Wins: A History of Lying from the Garden of Eden to the Enlightenment [Princeton: Princeton University Press, 2015] 26).  Maka jelaslah, aktor utama dan pencipta kebohongan mula-mula adalah si jahat.

            Bagian PB yang lain yang juga memaparkan kebohongan si jahat disebutkan dalam Wahyu 12:9: “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya.”  Pada ayat ini New American Standard Bible memberikan terjemahan yang paling pas dalam bentuk present tense: “who deceives the whole world (yang terus menerus melakukan penyesatan ke seluruh dunia).  Ini memberikan indikasi yang kuat bahwa karya si jahat yang berusaha mencobai manusia melalui tipuan kebohongan masih berlangsung secara aktif di seluruh dunia sampai hari iniItulah sebabnya seluruh dunia lebih mudah percaya pada kebohongan, dan sekaligus sulit sekali percaya pada kebenaran (dan sebenarnya Tuhan Yesus telah mengantisipasi realitas tersebut dalam Yohanes 8:45: “Tetapi karena Aku mengatakan kebenaran kepadamu, kamu tidak percaya kepada-Ku”).

            Lalu persoalannya, apakah cukup banyak anak Tuhan dan pelayan Tuhan yang sadar bahwa proyek atau program kebohongan si jahat masih berlangsung dan bahkan semakin menjadi-jadi di zaman teknologi maju saat ini.  Saya rasa apa yang dituliskan James Denney patut diperhatikan (sewaktu ia memberikan tafsiran terhadap surat 1 dan 2 Tesalonika), khususnya ketika ia menyampaikan fakta adanya orang-orang yang terinspirasi oleh kebohongan atau kepalsuan namun tidak menyadarinya: “Most of us are confident enough of the soundness of our minds, of the solidity of our principles, of the justice of our consciences.  It is very difficult for us to understand that we can be mistaken, quite as confident about falsehood as about truth, unsuspecting victims of pure delusion.  We can see that some men are in this wretched plight, but that very fact seems to give us immunity.  Yet the falsehoods of the last days, St. Paul tells us, will be marvelously imposing and successful.  Men will be dazzled by them, and unable to resist” (dikutip dari Gregory H. Harris, “Satan’s Work as a Deceiver,” Bibliotheca Sacra 156 [April-June 1999] 198).

            Jadi, apakah pada masa sekarang kita dapat mendeteksi yang namanya kebohongan atau kepalsuan, terutama kebohongan dan kepalsuan yang tampak seperti “kebenaran”?  Perkiraan James Denney di atas menyiratkan cukup banyak orang akan keliru dan cenderung percaya pada kebohongan yang dianggap sebagai kebenaran.  Mengapa demikian?  Karena kebohongan yang dilakukan oleh professional liars akan lebih sulit lagi terdeteksi, apabila pengajaran itu diberikan dengan disertai oleh kepiawaian retorika, kepandaian berkelit, plus perbuatan ajaib, tanda-tanda, mukjizat, nubuat, dan penglihatan.  Kenapa sulit terdeteksi?  Jawabannya adalah karena sejak Taman Eden sampai sekarang adalah sama saja, yaitu manusia akan cenderung lebih mudah terpesona kepada yang namanya kemampuan ilmu komunikasi, perbuatan ajaib, tanda-tanda, mukjizat dan karunia-karunia spektakuler lainnya, sehingga di dalam keterpesonaannya itu orang menjadi tidak kritis dan pikirannya menjadi kurang nalar untuk dapat memilah mana yang sungguh adalah kebenaran dan mana yang sebetulnya hanya “kebenaran” (kebohongan).

REFLEKSI PENUTUP

            Teolog Reformed Francis Schaeffer pernah menulis demikian: “. . . manusia tidak akan mau memperhatikan pernyataan kebenaran kita secara serius jikalau mereka tidak melihat melalui tindakan kita yang serius mempraktikkan kebenaran. . . .  Tanpa itu, di dalam zaman yang relatif ini, kita tidak dapat mengharapkan gereja injili [dan] ortodoks memberi arti bagi budaya di sekelilingnya atau bahkan memberi arti bagi anak-anak Gereja sendiri. . . .” (The God Who is There [Downers Grove: IVP, 2020] 168-169).  Penulis rasakan sendiri kalimat-kalimat berharga dari Schaeffer ini patut menjadi bahan refleksi dan perenungan bagi gereja dan para pemimpin.

            Maka izinkan saya permisi bertanya: Apakah kebenaran Allah benar-benar penting bagi kita, atau malah lebih penting dari hal-hal sekunder lainnya?  Apakah kita mempraktikkan kebenaran itu?  Bila kita menjawab ya, mengapa kita tidak peka terhadap segala kepalsuan dan kebohongan yang ada di zaman kekinian, terutama yang beredar lewat khotbah dan pengajaran yang sensasional dan kontroversial di media daring, namun yang tidak biblikal dan disampaikan oleh pengkhotbah/pengajar aliran teologi sumbang?  Mengapa juga kita tidak peduli untuk menyuarakan kebenaran, dan lebih dari itu, mempertahankan kebenaran di tengah dunia yang bengkok ini?

            Mohon maaf, pertanyaan refleksi ini masih berlanjut: Kalau kebenaran itu sangat penting atau paling penting dalam kehidupan dan pelayanan kita, mengapa gereja dan para pemimpin gereja lebih mementingkan hal-hal sekunder yang kurang penting, misalnya urusan ekonomi, budaya, politik, dan poin-poin trivial lainnya?  Maka tidak mengherankan, ada pendeta yang khotbah-khotbah dan pengajarannya didominasi oleh urusan politik, sosial, ekonomi, persepuluhan, pendanaan (baca: cari duit), perdagangan, positive thinking, pemberdayaan inner self, dan topik-topik kurang esensial lainnya?  Mengapa pula ada boksu yang terus menerus cuma memusingkan soal penambahan members atau anggota gereja, padahal kita tahu dari firman Tuhan, urusan church growth utamanya dan pada instansi terakhir adalah urusan Tuhan (“tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”; 1Kor. 3:6)?

            Mungkinkah jawaban yang sesungguhnya adalah: gereja dan para pemimpinnya sebenarnya tidak PD (percaya diri) tentang kebenaran, atau paling sedikit, mereka sebetulnya kurang atau tidak mempunyai dorongan atau ketertarikan untuk membicarakan atau mengaplikasi kebenaran pada diri mereka dan juga pada jemaatnya?  Itulah sebabnya konten khotbah dan pengajarannya berisi hal yang ringan-ringan, yang lucu-lucu, yang menghibur, yang memuaskan hati banyak orang.  Kalau sudah seperti ini, bukankah gereja tertentu telah menjelma semakin mirip dengan penyimpangan dalam media sosial atau dunia hiburan yang menyediakan entertaintment guna memuaskan telinga dan mata dunia sekular?  Jadi, ke mana arah gereja di masa depan?  Rasanya kita masing-masing perlu memberi jawabnya sekarang atau, ketika kita berjumpa dengan Kristus nanti!