Tinjauan Teologis Terhadap METAVERSE

Bisakah anda melepas dan tidak memegang gadgets berupa handphone, iPad, atau notebook barang satu hari saja?  Rasanya sudah terdengar ada enci-enci, oom-oom, emak-emak, ade-ade yang mengaku dengan jujur: “tidak bisa.”  Baiklah, terima kasih buat kejujuran saudara.  Kalau gitu, berapa lama anda melihat ke layar kaca itu dalam satu hari?  Satu jam?  Sepertinya tidak mungkin.  Cuma dua jam?  Tampaknya juga hil yang mustahal.  Lebih dari lima jam?  Kelihatannya ini lebih mendekati kenyataan, karena menurut survei yang beredar, setidaknya mayoritas individu menghabiskan waktu kurang lebih enam jam dengan terus berdampingan bersama gawai.  Data yang ada juga menunjukkan bahwa untuk anak-anak, remaja, dan pemuda, waktu untuk menatap ke layar gadget bisa lebih lama ketimbang orang dewasa, terlebih lagi kalau ada yang kecanduan online games atau situs yang tidak-tidak.

           Fakta ini menunjukkan cukup banyak orang yang terkena addiction pada gadget di zaman sekarang, yang kadarnya mirip kecanduan obat dan dampaknya amat sulit dihilangkan, lantaran kita tidak bisa berhenti memandanginya dan meletakkannya jauh dari jangkauan tangan.  Akibatnya, banyak waktu terbuang percuma, dan pada orang yang addicted pada tingkat optimal, ia bisa-bisa mengabaikan studi, pekerjaan, relasi, dan tanggung jawab terhadap keluarga atau orang-orang terdekatnya.  Maksudnya, semakin seseorang terbenam pada perangkat media tersebut, semakin jarang ia berkomunikasi secara riil dengan orang-orang terdekat—untuk tidak mengatakan, sebagian orang sebenarnya sudah bersikap cuek terhadap segala urusan atau sanak famili di sekelilingnya.

           Bertahun-tahun yang lalu, kecanduan ini terlihat pada mereka yang terus memelototi pesawat televisi (masih mending kalau ada acara nonton bareng, baik itu film, sepakbola, atau F1).  Pengaruh dan efek dari televisi, cable tv, satellite tv, dan film berbayar (pay tv) rupanya “sukses” membuat jutaan manusia “nancep” di depan televisi guna mencari hiburan selama berjam-jam setiap hari.  Maka, sejak puluhan tahun yang lalu (persisnya 1985), Neil Postman, seorang pengamat media dan pengajar di New York University, menulis sebuah buku yang laris: Amusing Ourselves to Death (repr.; New York: Penguin, 2006).  Di dalam salah satu bagian tulisannya, Postman menandaskan demikian: “Television is the command center in subtler ways as well. . . .  Television has achieved the status of ‘meta-medium’—an instrument that directs not only our knowledge of the world, but our knowledge of ways of knowing as well” (h. 78-79).

           Yang hendak ia tekankan adalah: selain televisi menyajikan konten komersial dan tema-tema kekerasan, pornografi, dan materi yang membuai para pemirsanya, mayoritas manusia tidak menyadari bahwa televisi sesungguhnya bersifat “meta-medium” (bukan sekadar medium/media) dalam arti ia bukan hanya mengarahkan para penonton supaya tahu banyak hal tentang dunia ini, melainkan ia juga mengendalikan cara-cara mereka untuk tahuArtinya, yang penting bukanlah soal isi/konten yang disajikan, melainkan apa yang sedang diarahkan oleh medium komunikasi pada pemirsanya supaya mereka lihat dan tahu.

           Pengamatan yang sama sudah dicermati pemikir Kanada, Marshall McLuhan (bersama Quentin Fiore), setengah abad lebih yang lalu.  Tesis utama yang dicetuskan adalah: masyarakat umumnya tidak menyadari adanya satu bahaya yang akan terjadi di mana “societies have always been shaped more by the nature of media by which men communicate than by the content of the communication” (“kehidupan masyarakat selalu lebih dibentuk oleh sifat media melalui mana manusia berkomunikasi dari pada oleh isi komunikasinya”; lih. The Medium Is the Massage: An Inventory of Effects [New York: Bantum, 1967] 8).  Perhatikan: sejak tahun 1967 sudah ada yang menyampaikan sebuah ramalan atau “nubuat” yang isinya merupakan sebuah peringatan tentang masa depan kehidupan masyarakat dunia yang akan berubah sehubungan dengan penemuan teknologi media yang semakin mutakhir.  Prediksi dan keyakinannya adalah: “the medium is the message,” yaitu media massa akan membuat manusia tidak sadar bahwa media itu sendiri sesungguhnya adalah message-nya yang mempengaruhi atau mengendalikan kehidupan modern.

           Sikap hati-hati dan kritis seperti Postman dan McLuhan perlu ada pada kita ketika dunia sekarang ini berhadapan dengan munculnya fenomena Metaverse.  Namun demikian, saya rasa perlu sejak awal memberikan disclaimer ini: Tolong jangan keliru mengerti: Saya tidak anti-teknologi.  Saya memakai hp, tablet, laptop, dan memakai aplikasi yang terkini untuk kehidupan dan pelayanan.  Tetapi saya merasa perlu mengajak kita semua untuk bersikap eling lan waspodo (selalu ingat dan berhati-hati) terhadap segala bentuk kemajuan teknologi, yakni bukan hanya dengan cara membabi buta menerima dan memanfaatkannya begitu saja, melainkan juga harus meneliti natur medianya, dan dampak negatifnya, termasuk memperhatikan aspek mudaratnya.

           Sekali lagi, teknologi bukanlah problem, atau dengan kata lain, yang menjadi problem bukan alat (tool), tetapi cara seseorang mendayagunakan atau bahkan memanipulasi alat tersebut.  Namun, walau teknologi pada dirinya sendiri bukan masalah, ketika manusia mencintai teknologi secara total, mengaguminya sedemikian rupa sampai kemampuan berpikirnya tenggelam, memberikan waktu seanteronya kepada teknologi hingga keberadaan nalarnya menjadi pasif, dan terbius hingga tunduk menyembah padanya seolah-olah itu adalah ilah/dewa/idol yang menguasai dan memuaskan manusia, maka pada waktu itulah masalah serius akan muncul dan segala kebenaran—apalagi kebenaran firman Tuhan—akan terbenam dalam samudera yang bernama irrelevansi alias tidak dianggap oleh insan penggunanya.

            Karena firman Tuhan mendorong kita dengan perintah: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1Tes. 5:21), maka seyogianya setiap anak Tuhan—teristimewa pimpinan gereja—patut memeriksa dengan teliti perkembangan teknologi terkini, membangun prinsip biblika/teologis yang solid, dan jangan mudah terbawa arus yang merasa semuanya ok-ok saja.  Bagi saya, Metaverse amat sangat berpotensi membawa manusia, termasuk orang Kristen dan gereja, bukan ke arah utopia (lingkungan baik yang diidamkan), melainkan ke arah distopia (lingkungan kelam yang tidak diharapkan).  Apa yang akan terjadi pada kita, manusia, bila semua orang tidak berhati-hati langsung menyambut dan mengadopsi Metaverse ke dalam kehidupan, pekerjaan, dan pelayanannya?  Ada dua butir penting yang saya perkirakan akan terjadi.

METAVERSE MENJADI SARANA UNTUK ESCAPE FROM REALITY

            Istilah “Metaverse” bukan ciptaan Mark Zuckerberg (boss Meta atau sebelumnya Facebook), melainkan disebutkan pertama kali oleh Neal Stephenson tahun 1992 dalam novel science fiction-nya yang berjudul Snow Crash, di mana ia meramalkan bahwa Metaverse akan menggantikan keberadaan internet.  (Juga perlu dicatat bahwa, selain Meta/Facebook, yang akan launching dan menguasai dunia Metaverse termasuk tech-giants seperti Microsoft, Apple, dan Google.)  Metaverse yang sejatinya adalah virtual reality (VR) atau augmented reality (AR) dengan 3-dimensi, berasal dari dua istilah: “meta,” yang berarti “beyond” dan “verse,” yang merujuk pada “universe,” sehingga maknanya menjadi “beyond universe,” melampaui atau jauh keluar dari alam semesta, atau “a shared virtual space beyond the universe,” sebuah ruang virtual berbagi yang menerobos batas alam semesta.

            Lebih dari itu, Metaverse adalah kecanggihan yang jauh lebih “hidup” ketimbang sarana internet, oleh karena dapat beroperasi secara online lewat laptop atau headset Oculus Quest 2, di mana goggles (“kacamata nonton” yang mirip dengan kacamata tukang las besi) dengan dua monitor video kecil akan mengatur seluruh pandangan seseorang pada lingkungan semesta yang luas dan tak terbatas.  Berbeda dengan televisi atau komputer di mana pemirsanya berada di luar perangkat/alatnya, pada Metaverse orang yang mengoperasikannya seolah-olah bisa masuk, berada di dalam, dan bisa “berdarmawisata” ke mana saja ia menghendaki, khususnya dalam konteks 3-dimensi untuk bekerja, bermain, atau berkumpul.  Saking “hidupnya,” Metaverse sampai-sampai disebut sebagai “an inevitable alternative to reality” (sebuah realitas alternatif yang tidak dapat dihindarkan).

            Bila disorot dari sisi positif kemanfaatannya—terutama di masa pandemi yang terus-terusan di mana manusia tidak bebas berkumpul atau bepergian—Metaverse akan bersaing dengan (atau menenggelamkan?) Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, yang jelas kegunaannya untuk lingkup pendidikan, pekerjaan, dan juga aktivitas keagamaan, oleh karena kesemua itu dapat terjangkau tanpa harus repot-repot pergi kemana-mana dan tetap bisa berjumpa dengan sesama kita kapan saja.  Pendeknya, manusia tidak khawatir mengenai kemacetan di jalan, menghemat ongkos transportasi, serta tidak perlu memusingkan soal menjaga jarak (lantaran takut terinfeksi) ketika berjumpa sesamanya.

            Tetapi di sinilah kehebatan sekaligus tanda awas yang perlu manusia pikirkan: Metaverse sengaja dirancang sejajar dan mirip dengan kehidupan yang nyata (real life), yang sebenarnya tidak riil.  Artinya, pihak yang memakainya akan merasa memasuki sebuah pengalaman yang riil, namun sekaligus—kita sama-sama tahu—tidak riil.  Melalui sistem “angkutan” online jarak jauh (teleportation), pemakainya akan dibawa untuk berjumpa dengan, katakanlah, jemaat dari gereja asal atau (kalau mau “jajan” ibadah, lalu ketemu) jemaat gereja baru yang sama sekali tidak kita kenal, kemudian kita ikut mengalami worship dalam lingkungan dan dunia maya yang asing itu.

            Seharusnya kita menyadari bahwa berapa pun bagusnya pengalaman ibadah lewat teleportasi Metaverse, tidak akan dapat menggantikan ibadah yang riil, teristimewa dalam konteks penyembahan kepada Tuhan dan perjumpaan dengan sesama jemaat.  Malahan perjumpaan semu lewat Metaverse akan semakin menjauhkan diri kita dengan sesama anggota gereja asal, dan sangat mungkin: semakin seseorang terkungkung pada VR, semakin hari ia akan cenderung menghindarkan diri dari persekutuan yang riil dengan jemaat lain di gereja.  Sekarang saja sudah berkali-kali terdengar keluhan pimpinan gereja yang mengemukakan tentang sulitnya mengajak anggotanya untuk kembali beribadah onsite, terutama ketika pandemi mereda.  Oh, no.

            Maka, terciptalah escape from reality yang dilakukan dengan bangga dan kelihatan keren, khususnya ketika seseorang mulai mengumumkan ke teman-temannya bahwa ia menggunakan teknologi terkini (mirip orang yang conceited alias norak, yang suka pamer ke mana-mana bila dapet hp keluaran terbaru).  Kebanyakan orang akan seperti ini: mereka tidak menyadari bahwa “the medium is the message” sebagaimana yang diutarakan McLuhan.  Dalam konteks bergereja, sarana yang dipergunakan untuk beribadah akan secara tidak langsung membentuk natur ibadahnya, dan sekaligus mengubah natur orang-orang yang ikut ibadah, oleh karena gerejanya sudah dipindahkan ke dalam medium dengan natur yang baru tetapi berbeda, yaitu realitas yang tidak riil.

            Dalam konteks ini, menurut pendapat saya, ibadah Kristen tidak tepat diaplikasikan dengan memanfaatkan teknologi Metaverse.  Alasannya, ibadah atau worship adalah pelayanan penyembahan yang ditujukan untuk Tuhan (“ministry to God”) dan untuk kepentingan Tuhan.  Maka, worship harus dilakukan dengan benar, otentik, riil, dan sepenuh hati.  Metaverse dengan penampakan realitas yang tidak riil sulit dapat dikategorikan sebagai penyembahan kepada Allah yang riil, maha tahu dan maha hadir itu.  Sebaliknya, Metaverse boleh dimanfaatkan secara proporsional untuk pembinaan (nurture) bagi orang percaya (“ministry to believers”), untuk misi dan penginjilan bagi dunia ini (“ministry to unbelievers”), dan untuk kepentingan pendidikan (“for educational purposes”), karena esensinya adalah pelayanan yang ditujukan untuk kepentingan manusia.

            Walaupun demikian, saya tetap merasakan sedikit kekhawatiran mengenai masa depan manusia dan masa depan gereja bila Metaverse menjadi mainstream, lebih-lebih ketika mendengar cukup banyak gereja di negara-negara maju dan kota-kota besar seakan berlomba-lomba langsung mengadopsi teknologi ini, barangkali agar penampilan gerejanya terlihat trendi dan keren.  Sadarkah kita bahwa teknologi baru ini akan membuat banyak orang makin “terhisap” dan “terbenam” (immersed) ke dalam dunia yang tidak riil, namun sekaligus melarikan diri dari dunia riil yang justru seharusnya dihadapi dan diubah menjadi lebih baik?  Mereka yang bekerja, menikmati entertainment, hang out, atau beribadah lewat Metaverse dengan cara terjun ke dalam suasana “completely immersive social network” sebetulnya tahu bahwa mereka sedang bersosialisasi bukan dengan “real human to human relationships.”

            Prediksi saya: manusia akan semakin terisolasi (heran ya, banyak yang tidak suka isolasi mandiri, namun justru mengisolasi diri dengan gadget terkini), semakin merasa tidak puas, dan parahnya, semakin berusaha escape from the presence (melarikan diri dari kekinian) menuju pada lingkungan futuristik yang lebih terkendali dan ideal menurut pemikiran benak mereka.  Seharusnya kita semua menyadari bahwa sekalipun untuk sejangka waktu kita dapat escape from reality, kita sebenarnya tidak akan dapat melarikan diri dari akibat-akibat yang akan dituai dari tindakan escape from reality.  Jangan-jangan di kemudian hari, ketika melakukan search di Google atau YouTube, ada orang akan mencari dengan ketikan: Apa itu realitas?  Bagaimana cara hidup dalam realitas?  Bagaimana cara kembali ke masa kini?

            Bila ada gereja yang sedang merencanakan atau sudah terlanjur menerapkan Metaverse, perhatikan perkataan Charles Taylor yang diutarakan bertahun-tahun yang lalu, khususnya ketika ia melihat adanya kecenderungan ekskarnasi dalam bergereja.  Yang ia maksudkan dengan “excarnation” adalah “the transfer of our religious life out of bodily forms of ritual, worship, practice, so that it comes more and more to reside ‘in the head’” (“perpindahan kehidupan agama kita menuju pada bentuk di luar raga dalam lingkup ritual, ibadah, praktik, sehingga ujung-ujungnya hanya mendarat [secara akali] ‘di kepala’”; A Secular Age [Cambridge: Harvard University Press, 2007] 613).

            Maka ekskarnasi sesungguhnya bukan hanya perpindahan dari aspek embodiment kepada aspek disembodiment, melainkan juga semacam “pelarian” dari persekutuan (orang kudus) menuju pada lingkup pengetahuan rasionalistis semata.  Lambat laun Tuhan Allah pun kurang dibutuhkan, sebab secara rasionalistis Ia sudah “dimarginalkan atau ditepikan” ke lingkup yang tidak ada relasinya dengan kepribadian kita.  Singkatnya, Tuhan telah berhasil diubah menjadi a depersonalized God, yaitu Allah yang tidak dikenal sebagai pribadi lagi.

            Ketika lingkup virtual mulai menggantikan interaksi embodied yang personal, yaitu dengan tubuh yang riil, harus diakui kekristenan dengan natur yang inkarnasional semakin meredup, dan aspek Allah yang personal dan aspek personal dari users menjadi samar, terlebih sewaktu kita melakukan ibadah (worship).  Bahasa gamblangnya: ketika Tuhan Allah di dalam Kristus justru menjadi “daging” (berinkarnasi), malah manusia melakukan kebalikannya, yakni berusaha lepas dari “daging” menuju lingkup imaginer.  Bukankah firman Tuhan juga memerintahkan kepada setiap orang percaya: “Muliakanlah Allah dengan tubuhmu” (1Kor. 6:20)?  Kejanggalan ini akan lebih terasa mana kala gereja hendak melakukan baptisan dan perjamuan kudus, di mana semua aliran gereja sebetulnya sama-sama sepakat bahwa baik pelaksananya (pendeta) maupun pesertanya (jemaat) wajib hadir secara “daging” dan tidak bisa diwakilkan oleh bentuk avatar virtual.

            Sejak awal tahun 2022, khususnya selama pandemi masih menjadi momok yang membatasi dan menyulitkan ibadah onsite, saya rasa semua setuju bahwa teknologi digital/virtual (Zoom atau YouTube) telah menjadi berkat yang besar bagi gereja dan pelayanan.  Namun demikian, dengan kehadiran Metaverse (yang diperkirakan akan booming mulai tahun ini), kita harus menyadari bahwa Metaverse akan membawa proses disembodiment menjadi semakin terang-terangan, yaitu tereksposenya tubuh yang tidak riil dalam ibadah, padahal kita adalah manusia yang memiliki darah dan daging (embodied persons) yang sekarang semakin disamarkan.  Singkatnya, kehidupan Kristen dan apalagi ibadah Kristen tidak akan dapat dihayati sepenuhnya secara virtual.

METAVERSE MEMBENTUK MANUSIA MENJADI NYARIS SUPERHUMAN

            Di dalam video YouTube, sewaktu Mark Zuckerberg menjelaskan tentang fungsi dan kecanggihan teknologi Metaverse selama 11 menit, ia berkali-kali memakai kata “imagine” (bayangkan).  Memang harus diakui, manusia mempunyai kapasitas melakukan imaginasi dan ini tidak ada salahnya, namun demikian imaginasi yang tidak terbatas, termasuk dalam konteks Metaverse, yakni menerapkan kemampuan menciptakan “avatar” secara digital/virtual, adalah imaginasi yang kebablasan.

            Ngomong-ngomong, istilah “avatar” berasal dari kata Sangsekerta “ava-tri” dengan makna “turunan” (descent) atau “turunan ilahi” (divine descent).  Oleh Metaverse, makna “avatar” disitir menjadi “an online representation of a user”; sebut saja: itu adalah seperti “kloning” diri (cetakan/representasi diri) si pemakai secara online.  Intinya, secara halus dan “ajaib,” manusia diberi kesempatan untuk menciptakan replika dirinya dan melakukan apa saja sekehendak hatinya dalam berbagai platforms atau kesempatan.  Avatar yang terwujud dalam Metaverse potongannya bukan hanya wajah si pengguna saja, sebab bila dikehendaki, bisa dibentuk (baca: didandani) menurut selera masing-masing: postur tubuh, model rambut, busana, perlengkapan perhiasan, dan pola penampilan lainnya.

            Yang jelas, avatar digital ini akan tampil “along with you and as you” (“bersama dengan kamu dan sebagai kamu”), meskipun—karena sudah dipoles sedemikian rupa—penampilannya berbeda dengan aslinya.  Pokoknya, avatar itu akan tampak sebagai bener-bener sesosok person yang bisa bekerja, main games, beribadah, atau kalau mau dipaksain, bisa ikut berjingkrak dalam konser musik rock anak muda (walaupun keberadaan anda yang “orisinal” sebenarnya adalah seorang engkong atau encim yang naik tangga ke loteng saja sudah bergumul setengah mati susahnya, lantaran dengkul yang mulai oblak).

            Dari perspektif teologi, apa yang ditawarkan dalam teknologi Metaverse secara inheren bisa berbahaya, sebab inilah yang rasul Paulus sejak zaman kuda gigit besi sudah katakan: “Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” (Rm. 1:23).  Versi NRSV menerjemahkannya: “and they exchanged the glory of the immortal God for images resembling a mortal human being or birds or four-footed animals or reptiles.”  Kata “gambaran” (images) memang dimulai dari kapabilitas manusia yang mampu melakukan “imaginasi,” tetapi karena imaginasi ini sifatnya kebablasan, maka imaginasi itu menjadi sia-sia (Rm. 1:21; “vain in their imaginations”; “pikiran mereka menjadi sia-sia”).  Melalui imaginasi yang sia-sia inilah, manusia zaman old membuat images berupa patung-patung (idols) yang menyerupai (atau merepresentasikan) manusia yang fana.

            Nah, di zaman now yang modern, manusia “mainannya” bukan patung-patung yang begituan; itu sudah kuno dan itu gawe-nya orang primitif.  Supaya terlihat canggih, high-tech, dan keren, manusia menciptakan images berupa avatar yang “menaikkan” status dan gengsinya menjadi superhuman.  Justru pada segi inilah manusia modern—dari satu sisi—menampilkan kehebatan, kemajuan, dan kecanggihan mereka, tetapi sekaligus—dari sisi yang lain—memperlihatkan kebodohan (dua kali kata “bodoh” dalam Rm. 1:21-22), kemunduran, serta keberdosaan mereka.

            Setelah “proyek” menciptakan avatar superhuman ini berhasil, pada waktu itulah manusia tidak lagi membutuhkan Allah, kebenaran Allah, atau kemuliaan Allah: “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk [baca: avatar] dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya” (Rm. 1:25; bdk. 1:23 “menggantikan kemuliaan Allah”).  Artinya, dengan status superhuman, manusia pada fase tersebut sudah “merasa” mereka tidak lagi terikat pada Allah, sebab mereka sudah berubah menjadi transenden (ingat: “meta” berarti “beyond,” jauh melampaui [alam ini]).

            Maka, apa yang sudah terjadi dalam Kejadian 3:5 (“you will be like God”; “kamu akan menjadi seperti Allah”) terulang kembali di masa kini, di mana manusia lapar dan haus untuk berubah status ingin menjadi seperti Allah, atau paling sedikit, ingin memiliki pengalaman yang tidak terlalu terkungkung pada realitas kekinian yang amat terbatas.  Dalam upaya untuk menjadi transenden, ada orang yang bersedia melakukan apa saja guna melepaskan dirinya dari ikatan atau keterbatasan naturnya sebagai manusia, dan hasrat yang paling besar adalah dorongan untuk nyaris seperti Allah, atau minimal, nyaris menjadi superhuman.

            Perlu dicatat: teknologi apa saja, termasuk Metaverse, ada di alam wilayah di mana Tuhan Allah bertahta dan berdaulat, namun demikian perlu disimak bahwa teknologi apa saja termasuk Metaverse adalah karya ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan secara langsung.  Manusia memang boleh dengan daya kreasinya memanfaatkan ciptaan Tuhan yang sudah ada untuk menghasilkan produk lain (misalnya, dari pohon jati yang adalah ciptaan Tuhan, manusia mendesain meja atau lemari dari kayu pohon jati), tetapi daya kreasi itu ada border/batasnya, di mana manusia tidak dapat melampaui batas tersebut untuk mengubah dirinya menjadi superhuman, mengatasi maut, atau berusaha meraih hidup kekal.

            Godaan atau pencobaan untuk melampaui batas tersebut sudah pernah melanda manusia dalam peristiwa di Taman Eden, dan pencobaan ini terulang kembali pada masa kini, oleh karena manusia akan senantiasa hidup dalam kebebasan di mana roh manusia berusaha melampaui border/batas yang natural dan temporal.  Meskipun sudah tahu dengan jelas bahwa ia berada dalam lingkup alam yang terbatas, tetapi situasi yang sulit—lebih-lebih di tengah pandemi atau kehidupan yang semakin susah hari demi hari—ikut menggoda dan “menyeret” manusia untuk mencoba (melalui kebebasan dan kreativitasnya) memindahkan keterbatasannya menuju ketidakterbatasan, kelemahannya menjadi kekuatan, kebergantungannya diubah menjadi ketransendenan.

            Sekali lagi, inilah kecenderungan manusia sejak Taman Eden hingga sekarang masih tetap sama atau bahkan semakin menjadi-jadi, yaitu manusia berusaha membuang jauh-jauh limitasi yang ada pada naturnya dan sekaligus “meloncat” memasuki sebuah dimensi natur yang menurutnya adalah natur yang ideal atau dapat go beyond untuk memasuki suatu dimensi pengalaman yang lebih baru, lebih hebat, lebih keren, dan lebih meyakinkan.  Kenapa manusia zaman modern sekarang—yang “cita-cita”nya menjadi superhuman namun—begitu polosnya (sebenarnya: begitu bodohnya) menerima begitu saja apa-apa in the name of technology?

            McLuhan memberikan jawabnya begini: “Our conventional response to all media, namely that it is how they are used that counts, is the numb stance of the technological idiot.  For the ‘content’ of a medium is like the juicy piece of meat carried by the burglar to distract the watchdog of the mind” (Understanding Media: The Extension of Man [Cambridge: Massachusetts Institute of Technology Press, 1994] 18).  Maksudnya, pikiran kebanyakan orang umumnya hanya terpaku pada sesuatu (dalam hal ini, teknologi), seperti anjing pelacak terpaku pada “daging wangi” (yaitu pada kontennya), sehingga bila ada maling yang berniat mencuri dengan membawa daging wangi untuk pengalihan—jadi malingnya adalah mediumnya—si maling sudah dapat beraksi dengan tenang tanpa hambatan apa pun.  Jadi, yang bego adalah anjing pelacaknya (yaitu, maaf, orangnya!).

            Yang ia ingin tekankan adalah adanya “kekuasaan” dari medium (sekali lagi, teknologi media) yang menelusup lewat cara menciptakan sejenis lingkungan yang secara perlahan namun pasti membentuk cara berpikir manusia tanpa disadarinya.  Bila orang dewasa saja mudah terbawa pada arus yang ada, bagaimana pula pengaruhnya pada anak-anak, remaja, dan pemuda?  Begitu banyak kaum millenial yang terbuai pada gadgets seperti handphone, tablet, laptop, dan sebagian besar dipakai untuk hal-hal yang tidak produktif, untuk tidak mengatakan adiktif, misalnya main games.  Begitu mulai main, mereka susah disuruh berhenti, bahkan ada yang lupa makan/tidur, apalagi nanti kalau mereka mulai terpaku pada teknologi Metaverse.  Tidak terbayangkan apa jadinya.

            Itu sebabnya masyarakat dunia sekarang seperti kurang menyadari dan terbawa begitu saja untuk “menelan” informasi, entertainment, musik, film, talkshow, materi pengajaran, khotbah, dan sebagainya dari media mana saja, padahal semua itu telah diramu sedemikian rupa supaya menarik hati sehingga banyak orang “terbawa” begitu saja oleh arus informasi yang diterima secara unreflective atau tanpa saringan yang kritis.  Informasi digital yang menarik atau kontroversial yang masuknya begitu banyak dan begitu cepat membuat banyak orang kebingungan sehubungan dengan “kebanjiran” informasi yang sebagian besar isinya negatif, destruktif, dan manipulatif, sehingga boleh dikata zaman sekarang adalah zaman yang kacau atau berantakan, yang tentunya ada juga pengaruhnya terhadap gereja atau kekristenan di zaman kekinian.

            Coba perhatikan, kalau ada pihak yang sudah “terbius” oleh medium tertentu, ia akan sulit menerima masukan dari topik tentang kebenaran (truth) atau pengajaran yang benar dari firman Tuhan.  Sudah bertahun-tahun yang lalu Douglas Groothuis melihat kecenderungan ini, khususnya di tengah membanjirnya “kekuasaan” medium di Barat: “Yet American culture shows little sign of becoming more tough-minded or interested in truth-seeking in the midst of the panoply of brave, new media technologies of every sort.  The evidence of intellectual laziness, irrationalism, and outright anti-intellectualism is everywhere.  The idea of truth is often reduced to mere personal opinion (with no verification); simply put, relativism rots the critical mind” (“Cyberspace, Critical Thinking, and the Return to Eloquent Realities,” Inquiry: Critical Thinking Across the Disciplines 18/4 [Summer 1999] 6).

            Karena tidak kritis dan tidak suka kebenaran yang objektif, manusia juga cenderung kehilangan kedalaman (lihat saja: kebanyakan orang maunya nonton yang ringan-ringan, lucu-lucu, seru-seru, dan pendek-pendek seperti video dalam TikTok), dan mayoritas orang sekarang tidak mampu membaca buku atau tulisan yang berat dan berbobot (termasuk ada yang nyap-nyap atau komplain menerima artikel saya, yang katanya kepanjangan).  Hal ini diperparah oleh pengaruh-pengaruh yang membuat pikiran mereka seakan-akan “terlena,” tidak kritis, dan dangkal, sehingga manusia tidak lagi peduli akan mana yang mengandung truth dan mana yang tidak.  Menurut saya, kehadiran Metaverse akan menambah kesuraman situasi dunia yang sudah jauh dari kebenaran firman Tuhan.

KESIMPULAN

            Saya menyimpulkan tulisan ini dengan saran-saran berikut: pertama, bila pandemi masih berkepanjangan, sebaiknya untuk sementara gereja tetap memanfaatkan medium Zoom atau YouTube saja untuk ibadah online atau hybrid.  Kedua, gereja tidak perlu resah dan terburu-buru ikut-ikutan memakai Metaverse untuk ibadah.  Pelajari terlebih dahulu manfaat dan mudaratnya (sebab bisa saja sekarang ini orang-orang gereja terbagi tiga, dan tiga-tiganya keliru: 1. Yang sama sekali belum tahu dan tidak mau tahu apa itu Metaverse; 2. Yang sudah tahu dan langsung dengan polosnya mengadopsi dan memakainya tanpa memikirkan apakah ada aspek yang bertentangan secara teologis; 3. Yang langsung menolak dan me-label Metaverse sebagai alat setan, menyesatkan, atau berasal dari si antikristus).

Ketiga, bila pandemi berakhir, ibadah perlu segera kembali diselenggarakan secara riil dan onsite, yaitu ibadah atau pelayanan yang inkarnasional dengan interaksi face-to-face, sebagaimana gereja di PB sangat mementingkan kehadiran secara badani (bdk. Ibr. 10:25; 2Yoh. 12).  Keempat, untuk kepentingan pendidikan, pembinaan, outreach lewat misi dan penginjilan—sekali lagi, bukan ibadah, sakramen, dan persekutuan—gereja boleh memanfaatkan teknologi apa saja, termasuk Metaverse.

            Secara khusus, outreach melalui misi dan penginjilan adalah ladang yang luas dalam dunia VR, sebab menurut data, 95 persen lebih users di lingkup tersebut adalah non-Kristen.  Bila gereja dan lembaga Kristen sungguh mengerti tentang pentingnya amanat agung menjangkau jiwa-jiwa yang belum mengenal Kristus, mereka tentu akan memanfaatkan teknologi VR untuk melakukan misi dan penginjilan secara lebih sederhana dan meluas, apalagi saat ini upaya mengirimkan misionaris ke negara-negara tertentu semakin tertutup.  Dengan demikian, mendayagunakan VR, termasuk Metaverse, untuk pekerjaan outreach tentunya sama sekali berbeda dengan mereka yang terlena dan terbenam oleh obsesi terhadap teknologi, apalagi bila hanya dipergunakan untuk hiburan, games, dan hal yang sia-sia.  Pertanyaannya: Apakah saudara dan saya memiliki pendirian teologis yang tepat di zaman yang abnormal ini?