Godaan Cinta Uang Juga Pada Orang Yang Katanya Kristen (Menelaah 1 Timotius 6:10)

Masih ingat nama Dimas Kanjeng Taat Pribadi?  Heran, kalau anda sudah lupa tentang “tokoh beken” yang amat populer tahun 2016.  Ia adalah pria kelahiran 28 April 1970 dari keturunan Arab-Jawa di kota Probolinggo, Jawa Timur, yang pernah menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi di kota Malang, namun ternyata malang bagi perjalanan perkuliahannya yang tidak lancar dan akhirnya ia harus drop out.  Setelah itu ia malang melintang berburu ilmu ke berbagai wilayah di tanah air, sampai tahun 2000 kembali ke Probolinggo untuk mendirikan sebuah padepokan (sebut saja tempat retreat atau peristirahatan model zaman dulu).  Di tempat yang luasnya 7 hektar itulah ia menjadi pimpinan, pengasuh, pemilik, bahkan guru besar (jangan tanya: kenapa tidak lulus kuliah tapi bisa jadi guru besar, sebab pertanyaan model gini susah dapet jawabannya di bumi nusantara).

            Dimas Kanjeng juga dipanggil dengan sebutan raja Anom, sebuah sebutan yang muncul karena ia dianggap “berhasil” mengintegrasikan ajaran agama dengan unsur-unsur gaib yang didapatnya dari ilmu kejawen (memang biasanya yang kagak lulus kuliah suka “larinya” ke arah yang beginian).  Misalnya, ia pernah mengeklaim mampu menarik barang berharga atau logam mulia (contohnya, emas) dari dalam tanah (kalau ini beneran, tentunya saham Freeport langsung rontok, bukan?).

            Yang paling bikin heboh adalah kehebatannya menciptakan “bank” jadi-jadian, di mana ia dikatakan dapat menggandakan uang secara gaib.  Contohnya, kalau ada orang menyetor 1 juta rupiah, ia bisa “memberanakkan” duit itu 1000 kali lipat dalam waktu relatif tidak lama sehingga jumlahnya menjadi 1 milyar rupiah.  Bank gelap mana pun tidak ada yang seperti itu, apalagi bank di Singapore, Jepang, atau Amerika Serikat yang rata-rata bunganya kecil sampai negatif.  Pelipatgandaan uang tersebut dilakukan dengan cara berzikir dan bantuan jin ifrit (sejenis jin “senior” yang dianggap sudah emeritus sejak masa sebelum masehi), sehingga keluarlah fulus bergepok-gepok dari jubah hitamnya yang sekilas mirip jubah hitam pendeta (juga jangan tanya: apakah duit yang keluar itu ada nomor serial dari Bank Indonesia?).

            Kegiatan penggandaan dana ini mulai terhenti sesudah Dimas Kanjeng diperkarakan karena keterlibatannya dalam kasus pembunuhan terhadap dua orang bekas anak buahnya, Ismail Hidayah (yang tewas Februari 2015) dan Abdul Ghani (terbunuh April 2016).  Setelah ditangkap polisi dan masuk pengadilan, barulah terungkap bahwa kedua orang itu dibunuh karena Dimas disebut khawatir keduanya akan membocorkan dugaan praktik penipuan penggandaan uang.  Akhirnya ia kena vonis 18 tahun penjara pada Agustus 2017 oleh pengadilan negeri Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.

            Berikutnya, praktik penggandaan kapitalnya otomatis tidak dapat dilanjutkan, dan Dimas sendiri mengaku tidak dapat melakukannya karena jin ifrit yang selama ini menjadi “pabrik pencetak uang”nya telah kabur karena takut sewaktu didatangi petugas kepolisian dan tentara (sejak kapan jin atau roh jahat takut sama aparat?).  Maka mulailah bermunculan para penagih, yaitu mereka yang sebelumnya tergiur oleh iming-iming berupa returns atau imbal-hasil yang besar dan yang telah menyetorkan doku yang tidak sedikit (ada yang menyerahkan 50 juta, 900 juta, 1,5 milyar, malahan ada yang 200 milyar).  Mereka kebanyakan adalah orang biasa, namun ada juga yang berprofesi sebagai pegawai, guru, orang yang sebenarnya sudah kaya, dan terpelajar serta lulusan perguruan tinggi dengan gelar doktor.

            Pertanyaannya: Kenapa ya ada orang yang sudah terdidik atau justru sudah kaya raya masih terpikat dengan fenomena irasional semacam itu?  Jawabnya: semua itu bermula dari hasrat untuk memperoleh uang atau kekayaan materi (material wealth) dengan cara cepat (fast money atau easy money).  Artinya, di mana-mana di seluruh dunia, godaan cinta uang—khususnya lewat cara instan tanpa mesti berjerih lelah atau kerja keras—adalah “pancingan maut” yang sama menggiurkan bagi orang kaya atau miskin, tua-muda, bertitel tinggi atau tidak pernah “makan sekolahan.”

UANG DAN GODAAN INGIN CEPAT KAYA

            Godaan ingin cepat kaya dengan cara mudah lewat penggandaan uang ala Dimas Kanjeng dalam bentuk yang lebih modern dan canggih tampak marak terjadi hari-hari belakangan ini, terutama lewat banyaknya kasus penipuan investasi robot trading, perdagangan kripto, saham bodong, investasi emas, bank gelap, dan investasi ilegal sejenisnya.  Sebagai contoh, pada kasus robot trading ilegal biasanya para pelaku menggunakan skema piramida atau ponzi scheme untuk menjual aplikasi tak berizin, melalui tiga paket penawaran seharga, 150 USD, 300 USD, dan 500 USD.  Kemudian member yang akan ikut diharuskan memakai referral link yang telah disediakan.  Hal ini berarti yang dijual adalah sistemnya, bukan barangnya.  Bila seseorang join dalam “bisnis” tersebut dan berhasil meraih member, maka ia mendapatkan 10 persen (selanjutnya 6 persen hingga 20 persen).

            Sebenarnya apakah robot trading itu salah?  Perlu dimengerti bahwa robot trading adalah program yang dimasukkan dalam komputer untuk melakukan analisa pergerakan pasar forex atau saham, mengeksekusi penjualan dan pembelian forex atau saham, dan mengelola risiko sesuai dengan batasan-batasan yang diprogramkannya.  Dengan demikian, robot trading berfungsi bagaikan expert financial advisor yang akan terus bekerja kapanpun selama 24/7 asal mesinnya menyala.

            Prinsip praktis yang harus diperhatikan sewaktu mau mencoba ikutan investasi di pasar uang seumpama robot trading, perdagangan kripto ataupun reksa dana, adalah: 1) check dulu seperti apa mekanismenya; 2) bagaimana kinerjanya di masa lalu (kinerja untung-ruginya selama 1-2 tahun yang lalu), dan 3) siapa yang bertanggung jawab menjalankan robot trading atau perdagangan kripto tersebut?  Apakah ada legalitasnya?  Ingat, biasanya broker ilegal ataupun broker yang tidak yakin produknya baik akan menggunakan metode member-get-member dan meng-iming-imingi keuntungan yang di luar kewajaran.

            Setiap jargon jaminan “pasti untung” atau “cepat kaya” harus selalu diwaspadai!  Karena prinsip investasi adalah selalu “Semakin tinggi risiko, maka semakin tinggi kemungkinan mendapat untungnya,” atau sebaliknya, “Investasi yang rendah risikonya biasanya juga lebih rendah tingkat pengembaliannya” (“high risk—high return” atau“low risk—low return”).  Perhatikan: Amsal 13:11 sudah mengingatkan “harta yang cepat diperoleh akan cepat berkurang, tetapi siapa yang mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya.”

            Yang mengherankan, khalayak yang tertipu kebanyakan sudah merasa ini kok rasanya gampang banget untuk untung dan sebagian bahkan sudah tahu bahwa kegiatan usaha tersebut hanyalah semacam money games atau (boleh juga disebut) sejenis gambling yang tentu saja tidak memiliki perizinan di bidang perdagangan yang diberikan oleh kementerian terkait, namun mereka tetap tergiur oleh umpan imbal atau profit yang menarik dengan tujuan supaya proses penggandaan uangnya bisa melejit, apalagi minat ikutan itu akibat ramainya influencers dan selebgram yang mempromosikannya.  Artinya, orang yang join biasanya dipancing dengan janji pasti untung ditambah dengan umpan profit di awal keikutsertaan, lalu supaya betah, dikasi cuan (untung) beberapa kali, sehingga yang bersangkutan semakin bernafsu menambah modal investasi, dan ujung-ujungnya setelah sejangka waktu terbitlah kerugian demi kerugian.

            Fakta di atas memperlihatkan bahwa dewasa ini tampak semakin banyak orang yang mengabaikan cara berpikir yang tepat dalam berinvestasi secara benar, yaitu seharusnya mereka menerapkan cara berpikir “Nanti Gimana” (Nanti gimana investasi saya?  Apa ada kemungkinan bodong?  Apa saja risikonya?).  Justru di saat pandemi sekarang ini—sewaktu kebanyakan orang memiliki tempo lowong dan senggang di rumah—malahan mereka menerapkan prinsip “Gimana Nanti Saja,” yaitu: yang penting untung dulu dan kita coba saja!  Akhirnya, bukan untung yang diraih, melainkan buntung, yang tidak diharapkan siapa pun.

            Setelah Bappebti (Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi) menutup lebih dari 1.220 situs trading ilegal dan pihak yang berwajib pun mulai menyelidiki kasus-kasus yang telah merugikan banyak kalangan, barulah ketahuan bahwa kerugian masyarakat bukan hanya ratusan milyar, tetapi disinyalir mencapai angka fantastik 114 triliun rupiah; belum lagi kemudaratan berupa tanah, rumah, dan barang berharga lainnya.  Alih-alih mengharapkan terwujudnya penggandaan dengan keuntungan besar, yang dituai malah penderitaan akibat defisit tak terkirakan.  (Konon diduga: kasus bunuh diri yang melibatkan seorang model yang terjun dari lantai 8 sebuah apartemen baru-baru ini ada kaitannya dengan kekalahan dalam trading.)  Ironisnya, yang termakan bujuk rayu para penipu itu bukan hanya orang biasa, ibu-ibu, keluarga muda, pekerja kantor, pedagang, pengusaha, orang kaya, orang terpelajar, melainkan juga orang-orang beragama, termasuk orang gereja, dan malahan ada juga pendeta!

            Rupanya di masa pandemi covid—yang boleh juga dinamakan sejenis wabah mirip influenza—tampak dalam perikehidupan masyarakat masa kini juga berkembang yang disebut “affluenza” yang merupakan gabungan kata “affluence” (kemakmuran, kekayaan, berkelebihan) dan kata “influenza.”  Kamus Oxford of Organizational Behaviour mendefinisikan “affluenza” sebagai “a virus with symptoms relating to an unhealthy obsession with the accumulation of wealth” (semacam virus yang gejala-gejalanya ada hubungannya dengan sebuah obsesi yang tidak sehat untuk penumpukan kekayaan).

            Sebenarnya pembahasan tentang topik ini banyak diulas di dalam Alkitab.  Sebagai contoh, tema tentang kekayaan, harta, kepemilikan, dan uang, termasuk yang kerap dibicarakan oleh Tuhan Yesus.  Dari 38 perumpamaan yang pernah dituturkan-Nya, 16 buah berkaitan dengan tema tersebut.  Misalnya, Ia berucap: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat. 6:24).  Istilah “mammonas” ada konotasinya dengan penyembahan (ilah) uang yang sesungguhnya adalah “ilah palsu” (false god) dan tindakan money worship ini tentu saja akan menghalangi seseorang untuk menyembah Allah yang benar.  Singkatnya, worship kepada Allah harus bersifat manunggal (satu), tidak bisa kedua-duanya sekaligus, yakni berdampingan dengan ilah palsu.

            Jangan salah mengerti: Tuhan Yesus tidak anti uang, sebab dalam pelayanan-Nya Ia juga memakai uang, dan ada bendahara yang mengurusi penggunaan uang, serta ada orang-orang kaya yang meng-support aktivitas perjalanan dan pelayanan-Nya (Luk. 8:2-3).  Tambahan pula, beberapa tokoh Alkitab adalah orang kaya, seperti Abraham, Daud, Salomo, Filemon, Lidia, atau Febe (Rm. 16:2).  Lebih dari itu, Tuhan Yesus malahan sempat ngomong begini: “Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga” (Mat. 6:20; “Stockpile treasure in heaven”; MSG).  Hal ini menandakan ada perbedaan antara material wealth (kekayaan/harta kebendaan yang sifatnya sementara) dan spiritual/eternal wealth (kekayaan/harta yang rohani dan kekal).  Setiap orang percaya didorong untuk menyetok harta/kekayaan pada tingkatan yang lebih tinggi dan rohani, yaitu di sorga yang kekal.  Cara melakukannya bukan dengan men-transfer material wealth berupa emas, saham, uang, deposito, bitcoin, ke “bank” di sorga.  Cara yang dimaksudkan Yesus adalah dengan memperbanyak perbuatan kasih yang dikerjakan dalam nama Kristus (bdk. Mat. 25:40).

            Tentu saja orang Kristen sama sekali tidak didorong untuk mengejar, mencintai, atau mendewakan material wealth yang sifatnya temporal.  Maka, yang hendak Yesus tekankan pada Matius 6:24 adalah: Seseorang yang menyembah atau memperilah uang atau dunia material akan meletakkan seluruh kiblat dan cintanya pada lingkup kebendaan semata, sehingga itu semua menguasai, mengendalikan, mendominasi, bahkan dianggap menentukan hari depannya.  Itulah orientasi dan motivasi yang keliru pada sebagian insan: membiarkan “false god” (ilah palsu), yaitu material wealth mendikte, menguasai, mengendalikan, mendominasi, dan lebih dari itu, menentukan takdir masa depannya.

            Idealnya adalah manusia-lah yang mengontrol uang dan harta bendanya, bukan sebaliknya.  Secara prinsip yang benar, uang dan kepemilikan seharusnya diberdayakan juga untuk mendatangkan berkat untuk kepentingan, kebutuhan, kebaikan, dan kegunaan bagi banyak orang.  Sekali lagi, secara teori, uang seharusnya bukan tuan atau majikan yang mengendalikan dan memberi perintah, melainkan manusia-lah yang mengatur dan “berdaulat” terhadap fungsi harta bendanya, tetapi pada realitasnya, yang terjadi tidak se-ideal “cita-cita” pada cukup banyak orang, sehingga terjadilah penyimpangan, kekeliruan, dan distorsi pemakaian uang ke arah yang negatif, destruktif, hedonistik, dan soteristik (seakan-akan dunia kebendaan adalah juru selamat manusia; bdk. Luk. 12:16-21).

CINTA UANG DAN KONSEKUENSINYA

            Maka, ketika memperhatikan kata-kata rasul Paulus di 1 Timotius 6:10, kita perlu melihat konteks surat ini yang dipenakan antara tahun 62-64 M.  Yang jelas, Paulus menulis kepada anak muda yang bernama Timotius yang waktu itu melayani di kota Efesus, sebuah kota pelabuhan wilayah kekuasaan Romawi yang lumayan makmur dan banyak orang kaya berdomisili di sana.  Intinya, ia mau mengajarkan pola hidup orang percaya yang sangat praktis di tengah lingkungan sekular dan banyak pengajar palsu yang memengaruhi dan membelokkan jemaat pada butir pengajaran dan praktik kehidupan menuju ke arah yang tidak benar; salah satunya adalah soal kekayaan/uang yang dalam realitasnya juga berpengaruh terhadap ibadah seseorang sehingga kesaksian hidupnya tidak memuliakan nama Tuhan.

            Itulah sebabnya Paulus menegaskan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang.  Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10).  Asal kata “cinta uang” adalah “philarguria” yang terdiri “phileo” (cinta) dan “arguria” (perak, uang).  Sekali lagi, tolong dicatat baik-baik (sebab ayat ini sering disalahmengerti oleh banyak kalangan): Paulus tidak katakan bahwa “uang adalah akar segala kejahatan” dan memang uang sebagai alat tukar atau instrumen transaksi pada dirinya sendiri bersifat netral dan tidak ada masalah.  (Bahkan, kalau mau jujur, kita harus mengaku: uang adalah bagian yang penting dalam kehidupan dan pelayanan, sekalipun bukan yang terpenting.)

            Yang Paulus tuliskan adalah “cinta uang adalah akar segala kejahatan.”  Artinya, persoalan baru akan timbul ketika seseorang memiliki kecenderungan mencintai uang, terlebih bila motif dasarnya adalah “ingin kaya” (1Tim. 6:9).  Poin ini memperlihatkan bahwa uang pada dirinya sendiri tidak ada masalah, tetapi penyalahgunaan uang (misuse of money) akan membawa pada pelbagai persoalan.  Bukankah Salomo jauh-jauh hari sudah menegaskan bahwa “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya.  Inipun sia-sia” (Pkh. 5:9).

            Karena “cinta” adalah urusan wilayah hati manusia, maka “philarguria” (lovers of money) pada instansi puncaknya ditandai dengan di mana, atau pada posisi seperti apa, seseorang menempatkan hati dalam urusan uang ini, yaitu seberapa besar keinginan, dorongan, dan pertaruhan hatinya berkaitan dengan uang dan harta benda, lebih-lebih bila tidak tampak limit dan batas kepuasan hatinya dalam berdagang atau mencari kekayaan.  Sejalan dengan ini, benarlah ucapan Tuhan Yesus ketika ia berujar: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21).

            Hati adalah aspek immaterial pada manusia yang letaknya di dalam dan tidak kelihatan.  Ini sejalan dengan kata “akar [segala kejahatan]” di mana “akar” (Yun. rhiza; root) secara harfiah adalah bagian dari kebanyakan tanaman yang letaknya di bawah, di dalam tanah, dan tidak kelihatan.  Sekalipun tidak kelihatan, yang namanya “akar” sebenarnya adalah tanda kehidupan yang sangat esensial, dan merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan.  Secara metafora, dalam konteks pembicaraan tentang manusia, orang yang “tidak berakar” (mis. Mat. 13:21) adalah orang yang pada akhirnya tidak akan hidup untuk Tuhan, sebab ia cenderung akan menyangkali Tuhan atau meninggalkan keselamatan.

            Maka orang yang disebut “lovers of money” amat berpotensi melahirkan pelbagai “akar segala kejahatan” dimulai dari aspek kehidupan yang tidak kelihatan (misalnya, penyimpangan dalam ibadah; lih. 1Tim. 6:5).  Artinya, pencinta uang belum tentu akan langsung berubah menjadi orang yang melakukan setiap dan segala jenis kejahatan atau immoralitas sekaligus.  Bukan itu maksudnya.  Namun, yang sudah pasti, mereka yang terinfeksi “philarguria” juga akan mengembangkan pola hidup sebagai “lovers of self” (mencintai diri sendiri; philautoi; 2Tim. 3:2).  Setelah itu, bila duitnya sudah berjubel, apalagi kalau dapatnya mudah (easy money) dan cepat (fast money), orientasi hatinya menjadi “lovers of sensual pleasure” (mencintai hawa nafsu; philedonoi; 2Tim. 3:4).  Kalau sudah komplit seperti ini, mereka menjadi sulit dikatakan pribadi-pribadi yang mencintai Allah (“lovers of God”; philotheoi; 2Tim. 3:4; bdk. Yak. 4:4; 1Yoh. 2:15), sekalipun mereka tetap bisa tampil bersandiwara dalam lingkup publik atau gereja sebagai pribadi-pribadi yang tampak baik, saleh, religius, dan melayani, tetapi sebenarnya dalam hati mereka kiblatnya sudah berubah drastis.

            Dalam konteks bergereja, idealnya seorang Kristen, aktivis, majelis, penatua, terlebih penilik jemaat atau pendeta seharusnya memiliki kualifikasi bukan sebagai “hamba uang” (aphilarguron; “not lovers of money”; 1Tim. 3:3; Ibr. 13:5).  Kontras tajam (dengan negasi “not”) seperti ini merupakan sebuah penegasan yang sangat diperlukan sebagai salah satu persyaratan calon majelis, calon penatua, dan tentu saja calon pendeta yang diharapkan untuk menjadi contoh teladan bagi jemaat.  Sebaliknya, “image” yang buruk tentang seorang calon majelis atau calon pendeta bisa-bisa menggugurkan keterpilihannya, bila ia—sebelum dinominasikan atau pada waktu mau diangkat sebagai majelis atau pendeta—ternyata adalah seorang yang (maaf) “mata duitan” atau tidak memiliki integritas dalam masalah keuangan (misalnya, suka berutang, lalu lupa bayar atau sengaja tidak mau bayar).  Bukankah orang-orang Farisi adalah figur religius yang selalu tampil saleh untuk konsumsi publik, namun dalam realitasnya adalah “hamba-hamba uang” (Luk. 16:14)?  Jadi, sekalipun mereka pandai bersandiwara dan sering “membenarkan diri di hadapan orang . . . [namun] Allah mengetahui hati [mereka]” (Luk. 16:15).

            Bila hati seseorang sudah berubah secara radikal, maka tidak sulit menemukan bahwa dalam kenyataannya ada juga orang yang katanya Kristen pada kehidupannya “telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10).  Artinya, selain posisi iman yang mulai tidak jelas dan hidup dalam kesalehan yang palsu, mereka yang “memburu uang” juga mendatangkan akibat negatif yang berat.  Kata “memburu” (Yun. oregomai; “stretching after”; “craving for”; dalam bentuk present middle participle) ada relasinya dengan keinginan yang sangat mengebu-gebu untuk mengejar sesuatu, tetapi amat disayangkan ia tidak pernah dapat meraihnya atau minimal tidak pernah merasakan kepuasan, walau yang bersangkutan siang malam senantiasa mengubernya.  (Saya berkali-kali mendengar ada orang-orang tertentu yang berubah menjadi “manusia kalong” [namun mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan Batman], dalam arti mereka kurang atau tidak tidur di malam hari demi untuk “memburu” kekayaan atau cuan lewat trading saham atau cryptocurrencyOh, my.)

            Akibat negatif yang berat terlihat pada aspek “menyiksa dirinya” (Yun. periepeiran; piercing, cutting, stabbing), yang dilukiskan secara kiasan bahwa ada insan yang saking anehnya kok malah menyakiti diri sendiri dengan cara menusuk, menyilet, menyayat, membabat dagingnya sendiri dari wilayah kepala hingga kaki, sampai di sekujur tubuhnya dipenuhi luka pada tiap bagiannya.  Pendeknya, fenomena semacam ini dapat dijumpai di seluruh dunia: ada orang yang kekayaannya berlimpah-limpah, tetapi, heran sekali, batinnya tersiksa dengan rupa-rupa kemuraman, kehampaan, penderitaan, kecemaran, hawa nafsu, perseteruan, amarah, perpecahan, kepahitan, dan ketidakbahagiaan.

            Bukankah ini sesuai dengan ungkapan raja Salomo ribuan tahun yang lalu (yang sangat mungkin ia merasakannya sendiri): “Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri. . . .  Malah sepanjang umurnya ia berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, penderitaan dan kekesalan” (Pkh. 5:12, 16)?  Bukankah hidup dengan keadaan seperti itu hanya menghadirkan “berbagai duka,” apalagi yang merasakannya tidak kembali kepada Tuhan dengan pertobatan (2Kor. 7:10)?

REFLEKSI PENYUDAH

            Sebelum tulisan ini berakhir, coba perhatikan: ada sebuah fakta yang menarik pada semua mata uang koin dan kertas (banknotes) Amerika Serikat, yakni pada setiap keping atau lembaran dollar itu ada diselipkan empat kata “In God We Trust” (“Kepada Allah Kami Percaya”).  Mengapa tidak dituliskan “In [George] Washington We Trust” (yang 1 dollar) atau “In [Benjamin] Franklin We Trust” (yang gedean 100 dollar)?  Atau, mengapa bukan terang-terangan saja dituliskan “In Money We Trust” sebagaimana kenyataan yang memang benar-benar terjadi pada cukup banyak orang di sepanjang zaman?  Kalau gitu, kenapa harus “In God We Trust” yang seolah-olah mencampurkan urusan sekular dengan lingkup spiritual?

            Jawabnya adalah karena mereka menyadari bahwa eksistensi Allah atau, paling sedikit, aspek religius, tidak dapat dipisahkan dari aspek sekular, dan sebaliknya, supaya mereka yang memiliki banknotes atau kekayaan material berupa uang itu sadar bahwa ada spiritual wealth (in God) yang levelnya lebih tinggi dan kekal ketimbang dunia kebendaan.  Pendeknya, penulisan empat kata itu bertujuan agar setiap orang yang memakai mata uang tersebut mengingat dan memaklumi bahwa hanya Allah yang dapat dipercaya di tengah lingkungan dunia material ini.

            Tetapi, dalam praktiknya, bukankah kenyataan yang berkembang sekarang ini dan di sepanjang zaman adalah kebanyakan orang—baik Kristen atau bukan—seakan-akan lebih menyukai “In Money We Trust” dari pada “In God We Trust”?  Bila ini situasi yang riil dari kehidupan mayoritas orang (termasuk orang yang ke gereja), khususnya yang terjebak dalam “philarguria,” maka tidak heran di mana-mana akan dapat dijumpai orang yang tidak pernah memiliki rasa puas akan kepemilikannya, padahal firman Tuhan mendorong orang percaya untuk memiliki “rasa cukup” (contentment) terhadap dunia kebendaan, terutama uang (1Tim. 6:6, 8).

            Satu prinsip praktis bagi orang percaya untuk memiliki contentment adalah belajar untuk “stick to your needs and cut your wants” atau belajar menguasai diri untuk mencukupkan diri guna memenuhi kebutuhan hidup yang penting dan mendasar dahulu untuk keluarga, serta belajar menahan diri tidak mengumbar atau berperilaku boros untuk sesuatu yang hanya memenuhi obsesi atau keinginan mata semata.  Karena sewaktu kita tidak dapat mengatakan “enough is enough,” maka kita akan menjadi orang yang serakah yang terus berkata “just a little bit more,” di mana tidak terlihat batas atau limit dan senantiasa ingin memiliki lebih dari apa yang sudah dimiliki.

            Akibatnya, ada orang yang sering mengambil jalan pintas dengan ikutan investasi yang menjanjikan untung besar.  Demikian pula dalam hal pemakaian kartu kredit, ada pihak yang begitu mudahnya berutang demi memuaskan keinginan untuk memiliki ini dan itu yang belum tentu ia butuh.  Justru karena langkah-langkah yang ceroboh inilah, seringkali kita jumpai ada orang yang kehilangan damai sejahtera karena dikejar utang, atau mengalami berbagai duka karena ketidak hati-hatian dalam membuat keputusan investasi sehingga kehilangan uang yang cukup besar.

            Sebaliknya, orang percaya yang memiliki contentment akan menjalani kehidupan ini dengan ketenangan dan damai sejahtera, sekalipun kondisi di sekitarnya mengalami kesulitan atau kekurangan.  Hal ini berarti ia mempunyai kestabilan iman (“In God alone, he or she trusts”), baik dalam kondisi lancar atau susah, sehat atau sakit, dan berkecukupan atau krisis.  Orang seperti inilah yang akan memperlakukan uang sebagai sarana (money as a means), bukan sebagai tujuan akhir (not money as an end in itself).  Yang paling penting dari itu semua: Hanya kembali kepada Kristus dan hidup dengan rasa cukup (contentment lifestyle) akan mendatangkan rasa puas dan kebahagiaan yang sejati.  Mohon permisi tanya: Punyakah saudara dan saya rasa puas dan kebahagiaan yang sejati itu?