
Ada dua tokoh besar yang sama-sama tidak pernah menulis buku atau artikel, namun paling banyak ditulis selama berabad-abad: pertama, Socrates, dan kedua, Yesus Kristus. Socrates (470-399 SM), sang filsuf dari Athena, Yunani, sejatinya adalah seorang guru dan scholar yang boleh dikata adalah perintis filsafat Barat. Walau tidak pernah menulis apa pun—dan untuk ukuran zaman now, orang ini tidak bisa naik pangkat jadi lektor kepala atau apalagi profesor—ia memiliki satu keistimewaan yang sangat menonjol, yaitu suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam percakapan atau dialog dengan siapa saja, terutama dengan murid-muridnya, sehingga terkenal dengan sebutan metode “Socratic questioning.” Yang menarik adalah filsuf kenamaan ini malah pernah mengaku demikian:“I cannot teach anybody anything. I can only make them think” (“Saya tidak dapat mengajar apa pun pada siapa pun. Saya hanya dapat membuat mereka berpikir”).
Mirip dengan Socrates, Yesus Kristus sering kali memakai cara dialog atau cerita yang sarat dengan pertanyaan-pertanyaan yang arahnya supaya orang berpikir. Terdapat 307 pertanyaan yang dilontarkan-Nya dalam keempat injil, dan hanya 8 pertanyaan yang dijawab-Nya sendiri. Perbedaan yang paling mencolok antara guru masa kini dengan Guru yang agung ini adalah: kebanyakan guru mengajukan pertanyaan untuk tujuan memperoleh informasi, tetapi Yesus untuk melakukan transformasi. Guru kekinian bertanya untuk mendapatkan jawaban, namun sang Mesias untuk membuka wawasan dan mata pendengar-Nya. Guru sekarang cenderung bertanya untuk materi pembelajaran yang terbatas, tetapi Kristus justru mengarahkan pendengar untuk berpikir dan bahkan melakukan introspeksi sampai mereka mampu melihat yang tidak kelihatan.
Misalnya, kepada seorang yang lumpuh 38 tahun lamanya, Ia bertanya: “Maukah engkau sembuh?” (Yoh. 5:6). Demikian pula kepada Bartimeus yang tunanetra, Ia berkata: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” (Luk. 18:41). Dalam kedua pertanyaan ini Ia mengarahkan mereka menuju pada penemuan iman yang memulihkan. Pada kesempatan lain Ia mengajak lawan bicara untuk berpikir secara logis dan membuat kesimpulan sendiri (“Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”; Luk. 10:36).

Pada perikop Markus 6:30-38, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik yang Ia utarakan: “Berapa banyak roti yang ada padamu?” (ay. 38). Pertanyaan itu diucapkan di tengah kebingungan para murid yang baru kembali dari sebuah mission trip dan bisa saja kelelahan. Tadinya Yesus mengusulkan sebuah retreat agar murid-murid bisa sharing pengalaman sambil beristirahat (ay. 31). Namun rupanya rencana tersebut gagal total, sebab penduduk Galilea membuntuti mereka, sehingga Yesus tidak tega dan kemudian “mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka” (ay. 34b).
Presentasi materi Yesus agaknya berlangsung sampai petang, karena itu para murid mengusulkan: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah mereka pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa dan di kampung-kampung di sekitar ini” (ay. 35-36). Saya rasa pertimbangan mereka cukup realistis, oleh sebab audience yang kumpul ada 5000 laki-laki (ay. 44), dan bila dihitung dengan para wanita/ibu-ibu/emak-emak dan anak-anak, jumlahnya bisa satu stadion atau se-Istora Senayan (sekitar 15-20 ribu jiwa). Mana mau seksi diakonia dan murid yang jadi bendahara (waktu itu dipegang Yudas Iskariot yang terbilang pelit dan korup) mengeluarkan dana konsumsi untuk beli nasi bungkus buat masyarakat 10 kelurahan Galilea?
Lebih parah lagi, pasti mata murid-murid pada melotot ketika Yesus malah bilang begini: “Kamu harus memberi mereka makan!” (ay. 37). Tidak heran reaksi mereka adalah: ini tidak mungkin! Ada dua versi bahasa Inggris mem-parafrasa-kan reaksi mereka dengan tepat: “With what?” ([Kasi makan] pake apa?), dan “Are you serious?” (Serius nih? Beneran nih?). Sekali lagi, respons mereka masih dalam batas kewajaran, sebab secara mendadak mengurusi konsumsi untuk empanin warga satu kecamatan betul-betul persoalan yang sulit bukan main.
Sewaktu kawanan murid itu sedang resah dan nyaris kalang kabut, meluncurlah pertanyaan Tuhan Yesus di ayat 38: “Berapa banyak roti yang ada padamu?” Perhatikan: Ia bertanya bukan karena Ia sendiri bimbang atau larut dalam gelagap para murid, karena menurut versi catatan Yohanes untuk peristiwa yang sama: “Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya” (Yoh. 6:6). Jadi, kenapa Tuhan Yesus melayangkan pertanyaan tersebut? Saya menemukan paling tidak ada dua maksud yang Ia hendak ajarkan.
TUHAN YESUS BERMAKSUD MENUNTUN KITA UNTUK BELAJAR MELIHAT KESULITAN SEBAGAI KESEMPATAN
Menurut persepsi para murid, memberi makan khalayak segitu penuh sesak, selain tidak mungkin, adalah sebuah pemborosan yang tidak perlu: “Jadi haruskah kami membeli roti seharga dua ratus dinar untuk memberi mereka makan?” (ay. 37). Artinya, dalam kalkulasi mereka, menghamburkan 200 dinar—yang sama dengan gaji seorang pekerja untuk 8 bulan kerja—adalah sebuah keputusan yang mubazir, inefisien, dan percuma, sebab nantinya masyarakat banyak itu cuma dapat makanan secuil yang tentu jumlahnya terlalu sedikit dan tidak akan mengenyangkan mereka.
Bukankah kebanyakan kita kerap kali juga berposisi pikiran mirip dengan para murid, yaitu melihat setiap situasi atau tantangan hanya sebagai kesulitan atau problem? Mayoritas orang—juga orang gereja, majelis, penatua, dan tidak ketinggalan, pengurus sinode atau yayasan—terbiasa berpikiran linier atau konvensional, yaitu pikiran yang terpatok atau terprogram sedemikian rupa sehingga yang terbentuk adalah sejenis jalan pemikiran bahwa semua persoalan harus disaring menurut struktur yang logis, rasional, normal, standar, kaku, birokratis, praktikal, pragmatis, serta tidak memberi ruang sedikit pun untuk hadirnya kemungkinan yang lain. Masakan anda tidak pernah menjumpai ada orang atau organisasi gereja yang sejenis ini?
Maka dari itu, solusi atau jalan keluar yang terbersit dalam pola linier ala murid-murid adalah: “Suruhlah mereka pergi” (ay. 36). Maksudnya, bila penghuni ratusan kampung Galilea itu bisa dibubarkan, berakhir pula persoalan dan kesulitan yang ada di depan mata mereka. Bukankah di masa pandemi ini cukup banyak insan Kristen, bahkan pengurus gereja atau lembaga Kristen, yang tetap berpola pikir linier dengan akibat: kita tidak sudi berpikir lebih jauh untuk melakukan penginjilan, menerapkan program misi, membantu kaum yang susah, sakit, dan berduka, padahal resources atau sumber daya manusia dan keuangan kita masih memadai atau bisa-bisa berkelebihan?
Jelas cara berpikir Tuhan Yesus tidak linier seperti manusia kebanyakan; Ia memiliki buah pemikiran yang inspiratif dan sekaligus transformatif. Inspiratif, dalam arti sangat baru, asing, tidak biasanya, dan barangkali aneh bagi para murid, khususnya ketika mereka membawa 5 roti jelai dan 2 ikan dari seorang anak, ada yang nyeletuk: “tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?” (Yoh. 6:9). Ini adalah logika common sense yang reguler dan tidak terlalu keliru, namun itu menandakan mereka masih terpatron pada ragam pikir konvensional yang skeptik.
Transformatif, dalam arti mengubah paradigma kerja para murid ke arah sebuah visi yang membukakan wawasan jangkauan pikiran mereka, teristimewa ketika Yesus menyuruh semua individu duduk “berkelompok-kelompok, ada yang seratus, ada yang lima puluh orang” (Mrk. 6:40). Boleh jadi di antara murid ada yang mulai ragu atau bahkan mulai mempertanyakan efektivitas pembagian kelompok 50 dan 100 orang dengan sangkaan bahwa paling-paling setiap pribadi cuma akan dapat roti dan ikan dengan ukuran se-upil.
Walau demikian, akhirnya para murid taat dan mereka membagi-bagikan roti dan ikan itu seturut dengan perintah Yesus (ay. 41). Maka terjadilah mukjizat yang besar yang setara dengan mukjizat peristiwa kebangkitan Kristus (sebab hanya dua peristiwa ini yang dicatat lengkap pada keempat injil). Semua kumpulan yang jumlahnya kira-kira 15 ribu makan sampai kenyang dan ada sisa kelebihan 12 bakul penuh roti beserta ikan (ay. 42-43). Luar biasa ajaib, bukan, karya sang Mesias?
Karena itu, mari kita semua belajar dari cara Tuhan Yesus melihat, sekalipun kita berhadapan dengan situasi yang amat sangat sulit pada masa pandemi yang berkepanjangan dua tahun lebih saat ini. Pertanyaannya: Mampukah kita sebagai spiritual leaders di gereja dan institusi Kristen lainnya memandang kesulitan di depan mata dewasa ini sebagai kesempatan untuk melihat Tuhan bekerja dengan karya mukjizat-Nya? Jikalau benar kita adalah spiritual leaders, kita harus mampu meneropong masa depan yang sulit sekalipun secara kristologis. Spiritual leaders di gereja harus mampu berpikir dan bertindak dalam situasi pelik secara kristologis. Sejatinya Spiritual leaders juga harus mampu membujuk dan mendorong orang-orang yang dilayani untuk mengikut dan melayani secara kristologis.
Sekarang, di tengah masa suram yang belum berakhir, mari kita selaku anak Tuhan, dan terlebih pemimpin rohani, belajar melihat kemungkinan-kemungkinan yang Tuhan ungkapkan lewat kesempatan-kesempatan baru. Mungkinkah Tuhan Yesus sedang mengulangi pertanyaan—“Berapa roti yang ada padamu?”—yang kali ini khusus ditujukan bagi kita, dengan makna agar kita berpikir, meluaskan cakrawala visi, dan mengarahkan kita pada suatu penemuan jauh di luar dari yang selama ini biasa kita lakukan secara rutin? Artinya, Ia sedang memandu kita ke arah inovasi pelayanan dengan sebuah kesadaran bahwa kesulitan adalah pintu yang terbuka menuju pada kesempatan demi kesempatan. Mampukah kita menatap dan bergerak ke arah kemungkinan itu?
TUHAN YESUS BERMAKSUD MENDORONG KITA UNTUK BELAJAR MELAYANI DENGAN MOTIF COMPASSION
Sebagaimana sudah dibeberkan di awal, setting situasi Markus 6:30 dan seterusnya adalah para murid baru merampungkan pelayanan misi dan bisa jadi mereka kecapean. Pas waktu itu Yesus mengusulkan sebuah retreat supaya mereka bisa rileks sedikit sambil merasakan “me-time” bersama sang Guru agung. Ternyata acara rehat sejenak itu tidak dapat dilangsungkan, oleh karena orang kampung se-Galilea ternyata mengintil mereka. Coba bayangkan kalau sampeyan adalah murid-murid yang sedang keletihan dan butuh mengaso sejenak, namun rupanya belum sempat rebahan, sudah dikerubuti orang berjubel yang muncul mendahului mereka. Tidakkah anda merasa terganggu dengan urusan kebutuhan orang lain yang tampaknya kurang peduli dengan kebutuhan istirahat saudara?
Tetapi bagaimana dengan reaksi Yesus? Pada waktu itulah ketika Tuhan Yesus “melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka” (6:34). Ungkapan “tergeraklah hati [Yesus] oleh belas kasihan” (“had compassion on them”) sebenarnya hanya satu kata kerja saja dalam bahasa Yunani: “splanchnidzomai” yang dipakai berulang kali dalam PB dan sebagian berkenaan dengan sikap hati Tuhan Yesus. Istilah ini secara harfiah berhubungan dengan “isi perut” (splanch) dan dapat berarti “tergerak pada sanubari yang terdalam.” Hal ini sudah sesuai dengan konsep Greco-Romawi pada waktu itu yang secara metafora menganggap bahwa pusat emosi atau perasaan manusia letaknya di wilayah perut, di mana gerakan dari wilayah emosi atau perasaan ini akan dengan sendiri membuat hati seseorang “membara” atau “terdorong” untuk memikirkan dan melakukan suatu perbuatan baik. Jadi, dalam konteks ini, yang menonjol adalah emosi dan hati Tuhan Yesus membara dan tergerak untuk bertindak bagi kebutuhan dan kebaikan banyak orang, teristimewa dengan motif mengurangi atau meniadakan kesusahan dan bahkan penderitaan mereka.
Hal ini menandakan Yesus bukan hanya melihat kesulitan yang dialami orang banyak; Ia seperti ikut merasakan penderitaan atau kesusahan mereka. Inilah love-in-action (kasih yang bertindak) yang ada pada-Nya dan yang seharusnya ada pula pada gereja dan kita pengikut-Nya. Hati-Nya terdorong oleh motif compassion sehingga Ia senantiasa mampu melihat bukan cuma orangnya, tetapi kebutuhan banyak orang. Motif compassion inilah yang menjadikan 5 roti 2 ikan berubah jadi mukjizat yang besar di tangan-Nya. Tidak berlebihan juga bila dikatakan bahwa motif compassion inilah yang mengubah sesuatu yang sedikit dan yang tidak berarti menjadi sesuatu yang luar biasa besar, ajaib, dan mendatangkan berkat bagi banyak orang.

Perhatikan, sewaktu Yesus bertanya: “Berapa banyak roti yang ada padamu?” (“How much bread do you have?”; NLT), Ia sedang menanyakan apa yang ada pada mereka, bukan benda atau materi apa yang tidak ada dan tidak mereka miliki. Menurut kalkulasi para murid: karena mereka tidak ada financial resources yang berlimpah, maka yang ada pada mereka, yaitu 5 roti dan 2 ikan, sangatlah tidak berarti serta—dalam estimasi mereka—sangat tidak mungkin bisa dipakai untuk melayani sedemikian melubernya manusia yang ada (“tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”; Yoh. 6:9).
Bukankah terkadang ada pimpinan yayasan, majelis gereja, ketua STT, atau pengurus lembaga Kristen yang diam-diam atau terang-terangan berkesimpulan bahwa tidak ada uang atau dana berarti pelayanan, program, atau proyek misi tidak bisa berjalan? Artinya, sama dengan para murid, conventional wisdom kita hanya terpaku pada pikiran linier bahwa financial resources adalah segalanya, bahkan yang menjadi determinan atau faktor penentu jalannya sebuah pelayanan. Memang uang, dana, atau dukungan finansial adalah penting, tetapi bukan yang terpenting dalam pelayanan.
Maka, inilah satu-satunya kunci pelayanan yang harus saudara dan saya miliki: Keharusan menemukan dan sekaligus kemampuan menerapkan motif compassion seperti Tuhan Yesus, teristimewa di masa wabah penularan virus belakangan ini. Begitu banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita, namun ironisnya, terlalu sedikit orang yang terpanggil untuk bersikap peduli terhadap jiwa-jiwa yang masih di luar Kristus, atau menggapai insan-insan dalam kesusahan dan penderitaan yang ada di sekitar kita.
REFLEKSI PENUTUP
Mukjizat 5 roti 2 ikan sesungguhnya adalah cara Tuhan Yesus mengkomunikasikan sebuah pesan penting, yaitu bahwa Ia ingin saudara dan saya melihat dari perspektif apa yang Tuhan lihat. Ia ingin kita jangan terlalu terpaku pada yang linier, yang biasa, yang tradisional, yang reguler, yang standar, dan yang pragmatis, melainkan supaya kita melihat wawasan atau dimensi yang tidak tampak, yakni karya Allah yang ajaib lewat mukjizat. Bila ingin memahami mukjizat, kita perlu mengenal cara Tuhan melihat dan cara Tuhan berkarya di tengah kesulitan atau persoalan secara kristologis. Bertanyalah pada diri kita masing-masing: Pesan atau message seperti apa yang Tuhan sedang komunikasikan kepada kita hari-hari belakangan ini? Mungkinkah Ia sedang menaruh sebuah beban atau ide pelayanan tertentu dalam hati supaya jiwa kita berkobar-kobar mau melakukan sesuatu bagi kerajaan Allah?
Saya rasa pendiri SAAT, Pdt. Dr. Andrew Gih (計志文; 10 Januari 1901-13 Februari 1985), adalah contoh figur hamba Tuhan yang mampu melihat apa yang Tuhan Yesus lihat. Itulah sebabnya walau sudah populer pada tahun 1930-an sebagai pengkhotbah di Tiongkok dan kalangan gereja Tionghoa di Asia (bersama dengan Pdt. Dr. John Sung; 宋尙節; 27 September 1901-18 Agustus 1944), Dr. Gih tidak berpikiran linier atau apalagi berpuas diri, sebab itu ia tetap melakukan pelayanan ke mancanegara, termasuk ke Amerika Serikat, Filipina, Singapore, Malaysia, dan Indonesia. Semua destinasi perjalanan itu jauh jarak tempuhnya dan lama bukan main, karena kebanyakan hanya dapat dilalui dengan naik kapal laut kemana-mana.
Di tiap negara yang dikunjunginya, selain melakukan khotbah penginjilan, ia membuka panti asuhan, sekolah Kristen, dan seminari; salah satunya adalah SAAT (Seminari Alkitab Asia Tenggara), yang dimulai di Bandung dan kemudian pindah ke Malang. Secara keseluruhan, selama hidupnya, ia telah mendirikan 375 gereja, 7 sekolah di 7 negara, dan 2 seminari. Artinya, keberadaan SAAT (yang didirikan 70 tahun yang lalu [persisnya 1952]) sebetulnya hanyalah salah satu bagian dari berbagai pelayanan Dr. Gih yang inspiratif dan transformatif. Ketika menyadari hal ini, saya sungguh merasa malu dan merasa terlalu kecil dibandingkan dengan apa yang telah dikerjakan hamba Tuhan yang setia ini.
Pada kesempatan ini, kita perlu tahu bahwa ayat penting dalam pelayanan Dr. Gih adalah Yohanes 4:35 (“Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai”), dan motto yang mendasari visi-misinya adalah “The field is the world” (“Ladang pelayanan ini adalah dunia ini”). Artinya, sejak puluhan tahun yang lalu, ada pelayan Tuhan yang dalam kesederhanaan dan keminiman mampu melihat bahwa ladang pelayanan itu luas sekali, yaitu mencakup seluruh dunia. Pergi ke seluruh dunia! Sewaktu tahu tentang fakta ini, saya amat sangat terkagum dan tidak sadar sampai keterlepasan nyerocos begini: “But, why in the world would any man want to do that?” Maksud saya, ini ‘kan 70-90 tahun yang lalu, ngapain Dr. Gih perlu repot-repot menjangkau ke berbagai negara dalam kekurangan atau bahkan ketiadaan?

Tetapi itulah yang justru dilakukannya dengan visi-misi yang jelas, sedangkan kita yang hidup di abad 21 dengan teknologi dan media yang bisa merambah ke seluruh dunia, namun tampaknya hati kebanyakan orang sudah berubah menjadi terlalu dingin dan suam, serta terlalu terpaku pada yang linier, yang provincial (sempit), standar, birokratis, reguler, tetapi sama sekali jauh dari misioner. Lalu, apa modal Dr. Gih melayani ke berbagai negara dan mendirikan ini-itu? Dengarkanlah perkataan hamba Tuhan ini waktu mau mendirikan seminari di sini 70 tahun yang lampau: “Saya datang ke Indonesia dengan tangan kosong!” Maksudnya, ia tidak mengandalkan modal apa-apa, termasuk deposito, emas-perak, dan dukungan dana dari sana-sini. Pendeknya, tidak ada financial resources yang dapat diandalkan, lebih-lebih lagi simpanan kapital atau aset cadangan, sebagaimana umumnya pada banyak gereja dan lembaga masa kini.
Sekarang ini, pada waktu kita memasuki tahun 2022 dengan dua tahun pandemi, kecenderungan utama yang melanda umat manusia di mana-mana adalah dua hal: kesuraman dan ketidakpastian. Berbagai kalangan membuat perkiraan bahwa akan terjadi banyak perubahan, reshuffle atau pengaturan ulang dalam organisasi, major career changes, di mana perusahaan menuntut yang terbaik (the best) dan yang paling unggul (the brighest) dari setiap individu. Sangat mungkin mereka lebih mementingkan skills ketimbang gelar akademik (degrees). Bagaimana dengan kita yang melayani di gereja dan institusi Kristen lainnya? Siapkah kita menghadapi banyak perubahan, atau siapkah kita berubah pada diri dan pelayanan kita untuk melakukan yang terbaik (the best)?
Perkenankan saya memberikan sedikit refleksi atau perenungan bagi kita semua: Kalau saya sebagai dosen teologi (bersama dosen-dosen teologi lainnya) hanya sekadar mengajar dan cuma mengikuti arus rutinitas pelayanan, tanpa melihat dan memikirkan visi-misi yang lebih besar dan luas seperti Tuhan Yesus, sayang sekali, bukan? Kalau saudara dan saya selaku pendeta, ketua sinode, ketua yayasan, pimpinan institusi Kristen, cuma melayani secara linier, reguler, ikut standar, dan hanya memikirkan kelestarian jabatan dan (maaf) tunjangan, tanpa melihat keberadaan kita secara misiologis, sayang sekali, bukan?
Untuk para calon pendeta dan mahasiswa teologi, yang sedang melayani dan akan lulus nanti, kalau saudara hanya mengerjakan saja yang disuruh atau diagendakan gereja, tanpa melihat dan mengacu pada Kristus sebagai tuan yang empunya ladang ini, sayang sekali, bukan, apalagi sebagian hanya menempatkan dirinya menjadi semacam pegawai atau karyawan, yang hanya mau melakukan apa-apa yang disuruh atau yang diagendakan saja? Untuk para penatua, majelis, pengurus komisi, atau aktivis di gereja, kalau saudara cuma secara reguler dan rutin melayani komisi, administrasi atau keuangan gereja dengan program ini-itu, tanpa melihat kaitan pelayanan secara kristologis dan situasi kekinian, sayang sekali, bukan? Singkatnya, kalau gereja, yayasan, atau lembaga yang saudara dan saya layani sudah memiliki aset, gedung, dan financial stability dengan dana misi yang melimpah, namun hanya dialokasikan untuk lingkaran yang sempit dan kepentingan yang linier, tanpa dipikirkan secara kristologis-misiologis untuk melakukan penginjilan, mendukung gereja yang lemah, masyarakat yang membutuhkan, dan menjangkau dunia luas yang sedang kesusahan, sayang sekali, bukan?
Jadi, marilah kita melayani sebagai spiritual leaders yang visioner, seperti Tuhan Yesus, sebab Ia-lah yang berkata kepada kita semua di masa yang sulit ini: “Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai” (Yoh. 4:35b). Pandemi memang menyulitkan, namun bukan bencana. Mari, pandanglah kesusahan besar dewasa ini sebagai bagian dari rencana Tuhan dan sekaligus kesempatan yang besar bagi kita untuk berkarya bagi Kristus. The harvest is now! Tetapi, kalau bukan sekarang menuai, mau ditunda sampai kapan?