
Renungan Minggu Advent 2021
Believe it or not, ternyata tempat karantina yang pertama dalam sejarah umat manusia adalah bahtera Nuh. Disebut demikian, karena ketika Tuhan menghukum manusia dengan air bah yang memenuhi seluruh bumi, hanya Nuh dan keluarganya 8 orang yang “diamankan” di sebuah kapal yang berfungsi sebagai pusat perlindungan agar mereka tidak “terinfeksi” (baca: terbenam) oleh genangan air.
Ini juga ternyata karantina yang terlama, sebab bukan hanya 40 hari 40 malam, melainkan kira-kira setahun lebih atau persisnya 370 hari bila dihitung dari Kejadian 7:11-13; 8:14-20.[i] Coba kalau anda “ditahan” di sebuah hotel tidak boleh ke mana-mana 370 hari di kamar ukuran kecil; apakah tidak kapok, bosan tujuh keliling, dan (terutama enci-enci/engkoh-engkoh) pada nyap-nyap dan senewen/senio terus saban hari?
Tetapi Nuh bukan stay longer di hotel di bawah jaringan grup Marriott, InterContinental, atau Accor; ia terkungkung dalam bahtera yang amat sangat sederhana dan barangkali pengap serta nyaris sulit menghindari aliran udara bau “tujuh rupa” berhubung di dalamnya ditampung pasangan koleksi hewan-hewan segala macam yang jarang mandi dan sebagian besar susah diatur, tambahan pula belum pada toilet-trained. Bisa kebayang tidak, suasana “aromatherapy” yang beredar di suite room milik Nuh di area upper-deck?
Sekarang, mari kita lupakan sejenak kondisi semrawut yang ada di sana, sebab sesungguhnya mengikuti kisah Nuh dan air bah memang menarik, dan secara langsung atau tidak, kisah ini berkaitan dengan teologi, anthropologi, arkeologi, geologi, biologi, palaentologi, bahkan historiografi. Sampai hari ini pakar atau ahli dari bidang-bidang tersebut gencar menyelidiki segala detail di seputar peristiwa ini. Misalnya, berbagai ekspedisi peneliti dari negara-negara Barat selama bertahun-tahun mendatangi pegunungan Ararat (disebut di Kejadian 8:4), yang terletak di wilayah negara Armenia, yang berbatasan dengan Rusia, Iran, dan Turki, di mana diperkirakan lewat foto satelit bahwa bahtera itu terdampar di puncaknya (5.137 m) yang selalu tertutup salju abadi.
Dari perspektif teologi, tujuan penulisan artikel pendek ini adalah untuk mengungkapkan bahwa peristiwa Nuh dan air bah jangan hanya dilihat dari sudut penghukuman yang Tuhan berlakukan saja, melainkan juga—seperti dua sisi pada sekeping koin mata uang—ada aspek mukjizat, keselamatan, bahkan aspek kristologis dan misiologis di dalamnya. Di masa dunia memasuki hari-hari yang semakin banyak gejolak dan kesusahan sehubungan dengan pandemi yang belum berakhir, marilah kita sejenak belajar dari firman Tuhan agar sebagai orang percaya (dan lebih luas lagi, sebagai gereja), kita mampu bersikap benar di hadirat Tuhan dan melayani dengan tepat di periode akhir zaman ini.
KARANTINA BAHTERA NUH ADALAH KARYA MUKJIZAT DAN KESELAMATAN ALLAH
Pertanyaan yang paling elementari mengenai kisah air bah adalah: Bagaimana mungkin pada zaman yang masih primitif (2448 SM) tokoh Nuh dan keluarganya (cuma 8 orang!) dapat merancang dan merakit satu kapal besar berukuran 41.006 meter kubik (135 x 22,5 x 13,5)? Artinya, panjang bahtera itu hampir dua kalinya pesawat Boeing 777-300ER (yang masing-masing panjangnya 73,9 meter), setengahnya lebih dari “almarhum” kapal pesiar Titanic (243 meter), dan sepertiga lebih dari kapal induk Amerika Serikat USS Nimitz (333 meter). Selain itu, pertanyaan lain adalah: bagaimana caranya Nuh mengumpulkan, “membujuk,” atau menangkap sekitar 50.000 binatang dan fauna lainnya (dari onta hingga kadal, dari kuda hingga kelinci, atau dari singa hingga semut rangrang), supaya mereka mau masuk dengan tertib dan disiplin ke tempat karantina itu secara sepasang-sepasang?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung kuriositas atau kebingungan tersebut akan sirna dengan sendirinya apabila kita percaya 100 persen pada karya mukjizat yang telah Tuhan kerjakan sebagaimana yang dituturkan dalam Kejadian 7. Bapak Nuh tidak akan sanggup membuat sketsa dan meng-engineer biduk raksasa itu jikalau bukan Tuhan yang menjadi arsiteknya (bdk. Ibr. 3:4: “Sebab setiap rumah dibangun oleh seorang ahli bangunan, tetapi ahli bangunan [arsitek] segala sesuatu ialah Allah”), apalagi ide disainnya jelas di-download langsung dari Tuhan (Kej. 6:14-16).
Nuh dan keluarganya pasti akan kewalahan dan pusing setengah mati menggiring 50 ribu hewan yang rata-rata tidak “makan” sekolahan dan suka PPKM (putar-putar kemudian menghilang). Nah, untuk urusan yang satu ini, Nuh tidak mungkin menanganinya, jikalau bukan Tuhan yang secara ajaib melakukannya (Kej. 6:20: “Dari segala jenis burung dan dari segala jenis hewan, dari segala jenis binatang melata di muka bumi, dari semuanya itu harus datang [“shall come”; NRSV] satu pasang kepadamu, supaya terpelihara hidupnya”). Namun demikian, perlu dicatat: pengaturan pelestarian binatang atau hewan di sini tidak ada hubungannya dengan karya keselamatan Allah (tetapi bila ada yang menyimpulkan: Tuhan memiliki ecological concern supaya lingkungan hidup tidak rusak, pendapat ini tidak ada salahnya).
Selain itu, sewaktu Alkitab mencatat bahwa Tuhan “akan mendatangkan air bah” (Kej. 6:17), lalu betul-betul terealisasi 120 tahun kemudian (Kej. 7:11-12) dan pada akhirnya Ia “menutup pintu bahtera itu” (Kej. 7:16), bukankah itu semua adalah wujud dari mukjizat yang tidak bisa dikerjakan manusia? Maka jelaslah bahwa bahtera Nuh sesungguhnya bukan karya Nuh, melainkan karya mukjizat Allah yang menyediakan sebuah “tempat perlindungan” atau “wahana keselamatan” di tengah kerusakan dunia akibat dosa. Menurut sejarawan Yahudi, Flavius Josephus (37-100 M), situasi kebejatan manusia di zaman Nuh boleh dikatakan “completely enslaved to the pleasure of sin” (“benar-benar terbelenggu oleh kenikmatan dosa”), sehingga Nuh menyerukan kepada mereka untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya. Tetapi, seruan pertobatannya diabaikan, dan sebaliknya ia malah diolok-olok dan sekaligus diancam hendak dibunuh.[ii]
Menariknya, situasi zaman Nuh dan situasi di akhir zaman sekarang ini sebetulnya ada kemiripan di dalamnya. Paling sedikit hal itu diungkapkan oleh Tuhan Yesus sendiri: “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Mat. 24:37). Artinya, intensitas dosa dan kejahatan pada akhir zaman akan menjadi identik, sebanding, dan sejajar dengan apa yang sudah terjadi di zaman Nuh.
Kesejajaran ini menarik untuk diperhatikan, khususnya ketika Yesus melanjutkan: “Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Mat. 24:38-39). Hal ini menunjukkan bahwa sebagaimana masyarakat di zaman Nuh merasa “normal” (biasa-biasa saja) dan tidak menganggap dosa sebagai dosa, begitu pula keadaan orang-orang pada akhir zaman ini. Bila manusia di zaman itu mengabaikan keselamatan dan tidak mau mendengarkan pemberitaan tentang pertobatan, seperti itulah warga dunia sekarang akan menganggap sepi berita injil yang diberitakan.
Yang tampak jelas adalah: kebanyakan orang akan merasakan segala sesuatu berlangsung biasa-biasa saja, dan mereka tiap hari tetap bekerja, makan-minum, menghadiri pesta, memuaskan nafsu, kawin mengawinkan, seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa: “lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua” (Luk. 17:27). Artinya, kemunculan air bah itu akan bersifat mendadak, khususnya bagi mereka yang mengabaikan dan tidak mau mendengarkan peringatan yang disampaikan.
Kesejajaran zaman Nuh dan zaman kekinian juga dinyatakan oleh rasul Petrus dengan ungkapan yang menarik: “di dalam Roh itu juga Ia [Yesus] pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu” (1Ptr. 3:19-20).
Bapa gereja Agustinus menafsirkan dua ayat sebagai berikut: Sewaktu Nuh sedang membangun bahtera, Kristus (lewat karya Roh Kudus) secara ajaib berkhotbah melalui Nuh tentang pertobatan, tetapi orang-orang pada zaman itu tetap tidak percaya, tidak mau masuk ke dalam karantina bahtera, dan akhirnya mereka tidak diselamatkan. Orang-orang yang tidak diselamatkan itu, menurut Petrus, eksistensi roh-roh mereka sekarang ini ada di dalam penjara, yaitu di dalam neraka.[iii]
Hal ini berarti, walaupun Tuhan Allah itu penuh dengan kasih dan sabar dan “Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2Ptr. 3:9), namun kesabaran dan penantian Tuhan itu ada batasnya. Maksudnya, meskipun Kristus melalui Nuh memberitakan injil pertobatan dan undangan keselamatan selama 120 tahun (lama amat?), nyatanya semua isi message-nya tidak diladeni, dan pada akhirnya masyarakat waktu itu benar-benar mengalami penghukuman. Ini juga berarti Tuhan baru mendatangkan hukuman setelah (1) mukjizat dinyatakan, (2) peringatan diberikan, dan (3) injil pertobatan sebagai kesempatan untuk memperoleh keselamatan diberitakan. Begitu besarnya anugerah dan kesabaran Tuhan Allah kepada manusia!
Urutan “mukjizat-peringatan-undangan keselamatan” ini akan diulangi kembali di masa akhir zaman, yaitu sebelum Tuhan Yesus datang untuk kedua kalinya (“Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia”; Mat. 24:37). Tetapi, perhatikan: “sebagaimana halnya pada zaman Nuh” sudah diberikan kesempatan begitu lama (120 tahun) untuk bertobat, zaman sekarang pun kesempatan itu sedang diberikan, dan cilakanya, kebanyakan orang tidak peduli, mengabaikan, dan life goes on as usual!
Maksudnya, waktu Kristus datang kedua kalinya nanti (dan berlangsung secara mendadak bagaikan kilat di langit; bdk. Luk. 17:24), kesempatan itu sudah hilang dan Ia datang bukan untuk menawarkan keselamatan (seperti kedatangan-Nya pertama kali di hari Natal), melainkan untuk melaksanakan penghakiman dan penghukuman terhadap orang-orang yang tidak percaya (Mat. 16:27). Parahnya adalah: waktu itu pun orang-orang yang tidak percaya itu tetap tidak ada niat mau bertobat; mereka malah minta mati dengan cepat (lih. Why. 6:16: “Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: ‘Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu’”). Pada saat itu pun permohonan mereka untuk mati dengan cepat tidak akan dikabulkan. Sudah terlambat.
KARANTINA BAHTERA NUH ADALAH KARYA MISI ALLAH MELALUI ORANG PERCAYA UNTUK MENJANGKAU DUNIA
“Visi-misi” tokoh Nuh sebenarnya hanya ini: membangun sebuah bahtera dan memberitakan injil plus peringatan kepada sesama di zamannya mengenai injil keselamatan dan sekaligus penghukuman Tuhan yang akan datang suatu hari. Yang menyedihkan adalah hasil pemberitaan tentang pertobatan yang disampaikannya cuma memenangkan 7 jiwa, yakni keluarganya sendiri. Barangkali ia kecewa dan merasa gagal oleh karena selama 120 tahun itu ia menjadi topik pembicaraan di mana-mana serta menjadi bahan tertawaan penduduk dari seluruh kecamatan Mesopotamia yang ada waktu itu.
Secara imaginer, sangat mungkin sebagian tetangga dan kerabatnya menyindir bahwa ia membutuhkan psikiater karena ia dianggap sedang berhalusinasi tentang banjir besar di atas pegunungan. Bahkan bisa dibayangkan secara reka ulang ketika binatang-binatang mulai digiring memasuki bahtera, kelompok pengolok itu berkumpul sambil berteriak: “Mari kita menonton sirkus terbesar di taman safari pertama sejagat raya!” Tambahan pula menurut Kejadian 7:4, sebelum air bah datang, Nuh dan keluarganya harus menunggu 7 hari di dalam bahtera sambil sayup-sayup terdengar teriakan dan ejekan sinis orang banyak berhubung banjir yang disebut-sebut belum juga tiba di sana (bdk. 2Ptr. 3:3 “pengejek-pengejek dengan ejekan-ejekannya”). Coba kalau saudara dan saya adalah Nuh; apakah tidak stress?
Dalam konteks akhir zaman nanti, firman Tuhan jelas menyatakan bahwa Tuhan Yesus akan datang kembali kedua kalinya. Kali ini Tuhan tidak akan menghukum dunia dengan air bah, melainkan dengan api (2Ptr. 3:7). Walaupun begitu, sebelum kedatangan-Nya, gereja dan orang percaya dipanggil untuk “merakit bahtera,” berupa kesediaan kita untuk menjadi pemberita-pemberita kebenaran, sama seperti tokoh Nuh yang disebut sebagai “pemberita kebenaran” (“preacher of righteousness”; 2Ptr. 2:5).
Bila kita siap menjalankan misi sebagai pemberita kebenaran sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya, kita juga harus bersedia dengan kemungkinan disepelekan, diabaikan, ditertawakan, bahkan bisa saja, dianiaya untuk injil. Gereja dan orang Kristen di masa surat Ibrani (10:32-34; 11:35-39) dan di zaman Petrus sudah mengalaminya: diejek (2Ptr. 3:1-3) dan dianiaya (1Ptr. 4:1, 12-16) karena pemberitaan injil.
Tetapi mereka yang mengejek atau menolak pemberitaan injil akan menanggung akibatnya berupa penghukuman di kala Kristus datang kedua kalinya. Sama seperti kehadiran Nuh sebagai pemberita kebenaran sudah dengan sendirinya “menghukum dunia” (Ibr. 11:7), demikian pulalah hidup yang benar, pelayanan misi, dan pemberitaan injil orang percaya di masa kini akan secara tidak langsung “mempersiapkan” penghukuman Tuhan di akhir zaman nanti.
Maka, pengertian “ia [Nuh] menghukum dunia” (Ibr. 11:7) tidak berarti bapak Nuh mempertontonkan pola hidup yang angkuh, merasa diri kudus, dan suka menghakimi sesamanya bagaikan kaum Farisi di periode PB. Bukan itu maksudnya. Interpretasi yang tepat bisa diperoleh dari penjelasan Jack P. Lewis yang berkata: “The passage need imply no more than that the life of the pious is a standing rebuke to the skeptical and impious.”[iv] Artinya, melalui kehidupan imannya yang benar dan saleh, Nuh secara tidak langsung “menegor” dan “memperjelas” ketidakbenaran dan kebejatan pola hidup orang-orang yang skeptis dan tidak percaya waktu itu, bagaikan cahaya yang masuk ke dalam sebuah gua gelap di mana akhirnya tampak jelas kalong-kalong pemakan buah pada bergelantungan di atas dindingnya.
Jadi, menjelang kedatangan Kristus kedua kalinya nanti, kita dapat melihat bahwa Tuhan Yesus sendiri secara tidak langsung mengidentifikasikan diri-Nya dan kedatangan-Nya dengan tokoh Nuh-bahtera-air bah: “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Mat. 24:37). Sangat menarik Isaac M. Kikawada mengomentari kemiripan itu begini: “The Flood is seen here as an epoch divider and the Son of Man event will be analogous to it; the Son of Man is another Noah.”[v] Benarkah Anak Manusia (Kristus) itu hanya Nuh yang lain (another Noah)?
Bagi saya, lebih dari itu, Anak Manusia itu lebih tepat diperlambangkan sebagai bahtera itu sendiri, karena di situlah karantina penyelamatan dan tempat perlindungan yang direncanakan dan dikerjakan secara ajaib oleh Tuhan Allah sendiri. Hanya satu pintu untuk jalan masuk ke dalam bahtera, dan Kristus sendiri pernah menegaskan: “Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat” (Yoh. 10:9). Dalam kasus penyelamatan melalui bahtera, setelah 8 orang itu masuk ke dalam, hanya Tuhan Allah yang mampu “menutup pintu bahtera itu di belakang Nuh” (Kej. 7:16). Maka jelaslah, dalam proyek penyelamatan manusia ke dalam bahtera tersebut, peranan manusia boleh dibilang tidak ada sama sekali; semuanya hanya kedaulatan, kuasa, mukjizat, dan karya Allah semata. Poin tentang karantina bahtera melalui Kristus inilah yang perlu kita jadikan misi pemberitaan kita sebelum Dia datang kedua kalinya.
PENUTUP
Mikhail S. Gorbachev, sewaktu menjabat sebagai Sekretaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet, pernah berpidato di New York pada sesi plenari dari majelis umum PBB 7 Desember 1988 dan mengucapkan perkataan berikut: “We are all passengers aboard one ship, the Earth, and we must not allow it to be wrecked. There will be no second Noah’s Ark”[vi] (“Kita semua adalah penumpang di dalam sebuah kapal, yaitu Bumi, dan kita tidak boleh membiarkan kapal ini hancur. Tidak akan ada Bahtera Nuh yang kedua”).
Sekalipun konteks yang menjadi fokus oleh Gorbachev adalah bumi (yang dikhawatirkan secara universal akan rusak bila perlombaan persenjataan dan perang nuklir tidak dicegah), namun terdapat makna yang benar ketika ia menegaskan “Tidak akan ada Bahtera Nuh yang kedua,” dalam pengertian: tidak akan ada kesempatan yang kedua bila bahtera itu diabaikan. Mirip dengan itu, tidak ada kesempatan kedua bagi mereka yang menolak, apalagi menista, pemberitaan injil yang intinya adalah karantina tempat keselamatan satu-satunya di dalam Kristus.
Di masa pandemi, di mana di seluruh dunia banyak orang menderita dan mengalami kematian yang begitu mengerikan, tanda-tanda datangnya “air bah” itu semakin hari semakin nyata. Sekalipun sebagian besar populasi dunia akan merasakan segala sesuatu berjalan biasa-biasa saja, dan mereka tetap melanjutkan segala aktivitas usaha, pekerjaan, makan-minum, menghadiri pesta, memuaskan nafsu, kawin mengawinkan, seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa, tetapi “air bah” itu akan muncul secara mendadak dan mereka yang mengabaikan dan tidak mau mendengarkan peringatan yang sudah diberitakan, akan binasa dalam penghakiman dan penghukuman Allah.
Bagi kita yang percaya, pandemi yang sedang berkecamuk secara universal seharusnya menjadi sebuah warning atau tanda awas bahwa tidak seorang pun insan di dunia ini yang memiliki kuasa untuk mengendalikan segala sesuatu, termasuk hidup dan masa depannya. Seharusnya juga kita bukan hanya bernaung di dalam “bahtera” Kristus, melainkan dengan semangat misi membawa orang yang belum percaya untuk masuk ke dalam “bahtera” Kristus sebagai tempat karantina yang paling aman bagi jiwa kita, terlebih lagi tanda-tanda “air bah” akan muncul semakin marak di hari-hari belakangan ini menjelang tibanya parousia, yakni kedatangan Kristus yang kedua kalinya.
Marilah di minggu advent ini kita jangan hanya terpaku menantikan dan merayakan kedatangan Kristus yang pertama kali di hari Natal dua ribu tahun yang lampau, lebih-lebih bila kita sudah menjadi orang percaya dan mengalami keselamatan secara pribadi di dalam Kristus. Sekarang—di minggu advent dan Natal tahun ini—adalah waktunya bagi gereja dan orang percaya untuk mempersiapkan sebuah “bahtera” berupa agenda untuk melakukan misi penginjilan lewat pemberitaan bahwa Kristus akan datang kembali kedua kalinya, apalagi kesempatan untuk percaya dan bertobat bagi warga dunia adalah saat ini—sebelum terlambat, sebab “tidak akan ada Bahtera Nuh yang kedua,” yaitu tidak akan ada kesempatan yang kedua!
[i]Lih. perhitungan yang dibuat Mark Howard, “How Long Was Noah on the Ark?”; https://creation.com/how-long-was-noah-on-the-ark.
[ii]Disadur dari Katie Marcar, “In the Days of Noah: Urzeit/Endzeit Correspondence and the Flood Tradition in 1 Peter 3-4,” New Testament Studies 63/4 (October 2017) 562.
[iii]Saya setuju dan mengalimatkan ulang posisi Wayne Grudem (View 1, yang mengadopsi interpretasi Agustinus); lih. “Christ Preaching Through Noah: 1 Peter 3:19-20 in the Light of Dominant Themes in Jewish Literature,” Trinity Journal 7 NS (1986) 3.
[iv]A Study of the Interpretation of Noah and the Flood in Jewish and Christian Literature (Leiden: Brill, 1981) 103.
[v]“Noah and the Ark,” The Anchor Bible Dictionary (ed. David N. Freedman; New York: Doubleday, 1992) 4:1129.
[vi]Dikutip dari Andrei P. Tsygankov, Russia’s Foreign Policy: Change and Continuity in National Identity (Lanham: Rowman & Littlefield, 2019) 34.