Belajar Mengucap Syukur Ketika Terasa Berat Mengucap Syukur

Apakah mungkin di tengah suasana peperangan, penderitaan, wabah, dan kematian, tetap mengucap syukur kepada Tuhan?  Martin Rinkart sudah membuktikannya bisa.  Rinkart (atau Rinckart; 1586-1649) mula-mula melayani sebagai archdeacon (diaken pengetua) dan kemudian sebagai pendeta di kota kecil Eilenburg, Saxony, sekitar 20 kilometer timur laut kota Leipzig, Jerman.  Ketika baru 1 tahun menjabat pendeta Gereja Lutheran di usia 32, timbul Perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years’ War; 1618-1648), yang dipicu oleh pemberontakan para bangsawan Protestan yang menentang penguasa Ferdinand II yang hendak menerapkan peraturan Gereja Katolik di wilayah kerajaannya.

            Tentu saja banyak kematian akibat dari konflik yang begitu lama, yang diperkirakan merenggut 8 juta jiwa selama 30 tahun itu.  Jumlah korban yang sedemikian besar diperparah oleh tersumbat jalur distribusi makanan dengan akibat terjadinya bala kelaparan dan penyakit sampar yang menumpukkan penderitaan tambahan.  Sewaktu perang itu memasuki kota Eilenburg 1631, korban-korban mulai berjatuhan, terutama disebabkan oleh epidemi yang menjangkiti penduduk, termasuk para pendeta, yang tadinya ada 4 orang, sampai akhirnya pada 1637 tinggal Rinkart seorang diri yang masih bertahan di kotanya.  Pada tahun itulah korban yang mati akibat perpaduan perang-kelaparan-sampar jumlahnya sebegitu besar sehingga ia harus memimpin kisaran 20-40 ibadah pemakaman per hari.  Bila ditotalkan selama satu tahun ia telah memimpin lebih dari 4000 pemakaman, termasuk menguburkan istrinya sendiri yang terinfeksi wabah dan akhirnya meninggal dunia.

Tetapi, heran sekali, justru dalam situasi yang suram seperti itulah, Rinkart mampu menuliskan 66 pujian rohani, yang kebanyakan merefleksikan keyakinannya pada kedaulatan, kasih, anugerah, dan providensia Allah di tengah segala kesusahan, penderitaan, dan dominannya alam maut.  Salah satu himne yang dikarangnya tahun 1636 adalah “Now Thank We All Our God” (“Nun danket alle Gott”; lihat di bagian akhir: Kidung Jemaat 287“Sekarang B’ri Syukur”).  Pujian rohani ini sebenarnya ia tujukan bagi anak-anaknya sendiri guna mengajarkan kepada mereka pentingnya senantiasa mengucap syukur kepada Tuhan dalam segala hal seturut dengan yang ditekankan dalam 1 Tesalonika 5:18.

            Bila Rinkart sudah memberikan kesaksian dan pengalaman yang dramatis tentang bagaimana melewati “lembah bayang-bayang maut” dalam suasana peperangan-kelaparan-sampar yang tentunya diwarnai dengan penderitaan, kesesakan, dan kehilangan orang yang dikasihi, kita yang hidup di abad 21 ini perlu belajar dari firman Tuhan sebagaimana ia menghayati dan menjalaninya.  Mari kita belajar mengucap syukur, khususnya ketika berat sekali untuk mengucapkannya, teristimewa sewaktu mengalami penderitaan dan kedukaan.  Belajar dari 1 Tesalonika 5:18 dengan eksposisi yang tepat dan biblikal akan menguatkan dan memampukan kita mempraktikkan ucapan syukur di masa dunia memasuki fase yang kelam dan muram.

Mengucapkan Syukur Adalah Tanda Seseorang Sudah Menerima Anugerah Tuhan

            Mengucap syukur dalam segala situasi, termasuk ketika mengalami penderitaan dan kematian, apakah tidak salah?  Indah kedengarannya, namun apa mungkin dilakukan?  Apakah Tuhan tidak keliru berfirman?  Sama sekali tidak keliru; yang keliru adalah penafsiran sebagian kalangan yang menginterpretasikan ayat tersebut dengan lensa hermeneutik yang menyimpang.

            Mari kita mulai dengan memperhatikan ayat tersebut selengkapnya: “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1Tes. 5:18).  Perhatikan istilah yang dipakai rasul Paulus adalah “en panti” (“give thanks in all circumstances”; NRSV/ESV; “In everything give thanks”; NASB/NKJV).  Terjemahan bahasa Indonesia juga sudah sesuai, yaitu “dalam segala hal” (“in everything”), bukan “for everything” (“untuk segala hal”).  Maksudnya, Paulus tidak sedang menyuruh jemaat di Tesalonika mengucap syukur untuk segala kesulitan yang mereka hadapi, melainkan ia sedang menginstruksikan mereka agar mampu mengucap syukur meskipun menghadapi segala kesulitan.  Artinya, tidak selalu jalan hidup seseorang senantiasa lancar dan tanpa kesulitan, namun demikian meskipun di tengah kesulitan orang beriman harus mampu menampak ada sesuatu yang baik di baliknya.

            Sebagai contoh, berkali-kali dalam berbagai kesempatan saya pernah mendengar ada orang gereja ngomong secara keliru seperti ini: “Saya mengucap syukur papa saya meninggal dunia”; “Usaha suami saya bangkrut, puji Tuhan”; “Saya mengucap syukur saya sakit kanker”; “Anak kami dibunuh orang jahat, puji Tuhan.”  Ungkapan-ungkapan sejenis itu adalah produk teologi yang bukan cuma ngawur, melainkan juga sama sekali di luar dari yang diintensikan oleh firman Tuhan.  Jadi, bagaimana pengertian yang seharusnya?

            Pemaknaan yang benar adalah: kita mengucap syukur bukan karena adanya persoalan, kesulitan, musibah, kebangkrutan, atau sakit penyakit, tetapi karena meskipun berhadapan dengan persoalan, kesulitan, musibah, kebangkrutan, atau sakit penyakit, Tuhan memberikan kekuatan surgawi untuk menghadapinya.  Jadi, mengucap syukur di sini bukan mensyukuri adanya kedukaan, kemalangan, kesedihan, malapetaka, penderitaan, atau (maaf, orang dunia menyebutnya) kes- – lan, melainkan karena sekalipun mengalami ini-itu yang tertera di atas (yang tentu saja manusia normal tidak ingin mengalaminya), Tuhan tetap memberikan anugerah ekstra dan hati yang diliputi damai sejahtera untuk menanggungnya.

            Sekali lagi, di antara kita bisa saja ada kenalan, famili, tetangga, atau teman saudara yang katanya Kristen dan kemudian “memberikan kesaksian” yang isinya kira-kira semacam ini: “Puji Tuhan, saya istri saya kena stroke”; “Saya bersyukur dipecat dari pekerjaan dan sekarang menganggur”; “Puji Tuhan, kami bercerai”; “Kami bersyukur pabrik kami terbakar”; “Puji Tuhan, sahabat kami meninggal di usia muda” (dan ungkapan sejenis lainnya).  “Kesaksian” seperti itu mendarat pada dua kemungkinan: pertama, yang bersangkutan belum terbina dengan baik dalam pengajaran di gereja, sehingga memberikan kesaksian yang keliru pengajarannya, atau, yang kedua, orang yang mengucapkannya sudah terlalu nancep berakar pada doktrin yang keliru, namun ia yakin sekali bahwa itu adalah benar.  Untuk kemungkinan yang pertama, masih ada harapan diluruskan dengan ajaran yang biblikal, sedangkan yang kedua, rasanya sudah kasep (terlambat) dan sudah terlalu sulit untuk dilempengkan penyimpangannya.

            Hanya orang yang sudah disentuh anugerah Tuhan di dalam Kristus yang mampu menaikkan ucapan syukur.  Itulah sebabnya kata “mengucap syukur” (Yun. eucharisteo) berasal dari akar kata “charis” (anugerah atau kasih karunia) dengan pengertian daya kerja hidup yang penuh dengan ucapan syukur bermula dari anugerah Allah di dalam Kristus.  Bila anugerah itu sudah diberikan, dan bahkan terus menerus bekerja dalam hidup orang percaya, bagaimana mungkin ia tidak mengucap syukur?  Maka, Efesus 5:20 menambahkan satu kata yang sangat tepat, yaitu “senantiasa” (“always”): “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.”  Simpelnya, kehidupan orang percaya akan diwarnai ucapan syukur (thanksgiving), oleh karena ia menyadari setiap hari keberlangsung hidupnya ditopang oleh Tuhan (bdk. Mzm. 68:20: “Terpujilah Tuhan!  Hari demi hari Ia menanggung bagi kita; Allah adalah keselamatan kita”).

Jikalau pengucapan syukur dekat sekali kaitannya dengan kehidupan Kristen dan merupakan respons terhadap karya anugerah keselamatan yang Allah kerjakan di dalam Kristus, maka semestinya ucapan syukur akan mengalir keluar dari kehidupan orang percaya hari demi hariPertanyaannya, hari-hari belakangan ini kita lebih banyak bersyukur atau berkeluh kesah?  Lebih sering menaikkan syukur atas hidup ini (meskipun sulit), atau lebih banyak ngomel-ngomel dengan melontarkan kekecewaan, keresahan, dan kepahitan?

Mengucapkan Syukur Adalah Tanda Seseorang Yang Hidup Di Bawah Pengendalian Tuhan

            Rasul Paulus yang mengajarkan kepada kita tentang pentingnya pengucapan syukur di 1 Tesalonika 5:18 sebenarnya dalam real life-nya sendiri mengalami pelbagai jenis lika-liku persoalan dan kesusahan yang sama sekali tidak menyenangkan, terutama dalam pelayanan dan perjalanan misinya.  Misalnya, ia mengutarakan: “Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat.  Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini” (1Kor. 4:11-13).  Coba deh kalau saudara dan saya yang mengalami itu semua, kira-kira masih bisa bersyukur atau tidak?

            Bukan hanya itu, ada lagi yang terjadi pada Paulus yang lebih luar biasa beratnya: “Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut.  Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut.  Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu.  Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian . . .” (2Kor. 11:23b-27).  Saya menduga di antara kita rasanya tidak ada yang mengalami kesulitan dan problem yang masif seperti itu.

            Namun, jangan salah mengerti: sang rasul bukan sedang menumpahkan complaints dengan segala unek-unek lewat curhat perasaan dan keluhan pelayanannya.  Ia hanya menarasikan suka duka pelayanan yang riil yang merupakan “makanan sehari-harinya” sebagai seorang yang dipanggil untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa (lih. juga 2Kor. 6:4-10; 7:5).  Lalu, apakah segala pengalaman negatif dan buruk itu disukai oleh Paulus?  Apakah ia suka cari-cari bahaya?  Saya rasa tidak.  Sebagai contoh, sewaktu ia bersama Silas ditawan dalam penjara dengan kaki terpasung, bukankah ini pengalaman yang tidak menyenangkan?  Kemudian, apa reaksi mereka dan apa yang mereka kerjakan?  Dalam situasi susah, bingung, mumet, dan kacau, mereka malah “berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah” (Kisah 16:25).

            Inilah orang yang hidupnya ada di bawah pengendalian Tuhan, bukan dikontrol oleh situasi buruk yang terjadi di sekitar kehidupannya.  Orang yang beriman seperti ini sadar bahwa ia tidak sendirian di tengah kesusahan atau bahkan malapetaka.  Suasana kehidupannya mungkin tetap sama, yakni masih ada kesulitan yang belum berlalu atau berakhir, tetapi yang berubah adalah suasana hati dan imannya, yaitu tetap percaya kepada Allah di dalam Kristus dan malah mampu menaikkan syukur meskipun problemnya belum ada solusinya.

            Rupanya contoh kehidupan Paulus dan Silas yang seperti itu berkontribusi besar ikut mempengaruhi suasana hati dan komitmen banyak jemaat, sehingga mereka ikut dimampukan: untuk menatap Tuhan lebih dari pada segala kesulitan, untuk menyadari kekayaan rohani mereka di dalam Kristus lebih dari pada kemiskinan material, dan untuk melihat kemuliaan Kristus dalam kedatangan-Nya yang kedua kali di masa depan lebih dari pada segala ketidakbahagiaan hidup mereka di masa silam.  Kesaksian hidup seperti ini, yaitu kehidupan yang mampu mengucap syukur dalam segala situasi, akan membuat nama Tuhan dimuliakan dan sangat mungkin banyak orang dimenangkan bagi Kristus.

*******

            Di Amerika Serikat dan Kanada terdapat sebuah tradisi yang baik yang diselenggarakan setahun sekali, yaitu hari libur nasional yang disebut Thanksgiving Day.  Di Amerika Serikat hari istimewa itu diadakan setiap kamis ke 4 dari November (berarti tahun ini: 25 November), dan di Kanada setiap senin ke 2 dari Oktober.  Khusus di negeri Paman Sam, heran sekali, bisa dirayakan secara kompak oleh seluruh warga di sana, entah mereka Kristen atau bukan, padahal sesungguhnya Thanksgiving Day memiliki nuansa Kristen di dalamnya.  Singkat ceritanya sebagai berikut.

            Tanggal 6 September 1620, 102 orang (pria, wanita, dan anak-anak) bersama dengan 30 kru menaiki sebuah kapal barang kecil ukuran 30×8 meter2 (kira-kira sebesar 4 buah bus malam) berlayar dari daratan Inggris mengarungi Lautan Atlantik yang ganas.  Sebagian besar penumpang tersebut adalah orang Kristen kulit putih yang yang berlatar belakang Puritan Reformed melarikan diri sehubungan dengan penganiayaan dan tempat pengungsian yang dituju adalah benua Amerika.

Setelah berjuang di lautan selama 66 hari tanpa mandi (sebab memang tidak ada kamar mandi di sana), kapal yang bernama “Mayflower” itu tiba di Cape Cod, Massachusetts, tanggal 11 November 1620 dalam kondisi musim dingin dan para penumpang tidak siap menghadapi cuaca yang sedang membeku itu.  Lima minggu kemudian mereka pindah ke Plymouth dan mulai membangun tempat menetap yang permanen.  Karena minim dan serba kekurangan dalam segala sesuatu, mereka harus berhadapan dengan kelaparan, penyakit tipes, dan sakit yang dipicu malnutrisi (kurang gizi).  Akhirnya 14 dari 18 istri meninggal dunia, dan menyisakan duka yang mendalam bagi para duda dan anak piatu.

            Setelah berjuang beberapa bulan melewati musim dingin, mereka mulai bercocok tanam kecil-kecilan sampai akhirnya di musim gugur (Fall) 1621, ada panen jagung yang tidak banyak yang dapat dibagikan, namun tiap orang hanya memperoleh 5 butir saja sehari (5 kernels of corn per day).  Mengeluhkah mereka?  Sama sekali tidak.  Mereka malah berdoa terus dengan tidak jemu-jemu memohon pertolongan Tuhan; terkadang persekutuan doa mereka bisa berlangsung hingga 8-9 jam!

            Kemudian datang pertolongan Tuhan melalui kebaikan suku Indian Wampanoag yang dengan murah hati membawa makanan dan rusa hasil pemburuan.  Singkatnya, satu tahun setelah kedatangan di wilayah yang disebut New World, kelompok Pilgrims itu benar-benar mengalami kasih setia, pemeliharaan, serta campur tangan Tuhan yang ajaib.  Walaupun secara resmi Thanksgiving baru dirayakan 1623 (dan lebih resmi lagi, secara nasional, dideklarasikan oleh Abraham Lincoln 3 Oktober 1863), namun cikal bakal ucapan syukur sudah dinaikkan komunitas kecil orang percaya itu di tengah segala kekurangan, kesusahan, penderitaan, dan kehilangan kekasih mereka.

            Maka, merayakan Thanksgiving harus dititikberatkan pada hati yang mengucap syukur kepada Tuhan, bukan soal makan-minum.  Di antara masyarakat sekular Amerika Serikat sekarang ini, libur nasional itu sudah bergeser hanya sebagai acara kumpul keluarga, makan-minum, terutama makan turkey, apple pie, pumpkin pie, dan biasanya dilengkapi dengan tontonan hiburan American footballArtinya, unsur iman, doa, dan pengucapan syukur kepada Tuhan di dalam Kristus semakin langka dan meredup tertelan oleh zaman.

            Tujuan artikel ini ditulis bukan untuk memelopori diadakannya acara semacam Thanksgiving yang ada di dunia Barat untuk diterapkan di sini.  Motif saya lebih kepada memberikan dorongan kepada kita yang menjadi orang percaya untuk tidak melupakan pentingnya mengucap syukur, khususnya di tengah segala kesulitan, sakit penyakit, penderitaan di masa pandemi, dan di tengah kedukaan yang barangkali terjadi dalam keluarga kita.  Jadi, saudara dan saya sedang diuji kualitas iman Kristen kita, yaitu apakah kita mampu mengucap syukur meskipun hari-hari kehidupan kita semakin berat dan susah?  Martin Rinkart sudah lulus melalui ujian yang berat itu, dan ia mengajarkannya kepada kita semua lewat sebuah himne pengucapan syukur yang telah menjadi berkat dan penghiburan buat banyak orang selama berabad-abad sampai hari ini: “Sekarang B’ri Syukur.”

KJ 287 – Sekarang B’ri Syukur

  1. Sekarang b’ri syukur, hai hati, mulut, tangan!
    Sempurna dan besar segala karya Tuhan!
    Dib’riNya kita pun anug’rah dan berkat
    yang tak terbilang, t’rus semula dan tetap

  2. Yang mahamulia memb’rikan sukacita,
    damai sejahtera di dalam hidup kita.
    KasihNya tak terp’ri mengasuh anakNya;
    tolonganNya besar – seluas dunia!

  3. Muliakan Allahmu yang tiada terbandingi
    Sang Bapa, Anak, Roh di takhta mahatinggi.
    Tritunggal yang kudus kekal terpujilah,
    sekarang dan terus selama-lamanya!