Betulkah Ibadah Di Rumah Tuhan Masih Nomor Satu?: Merenungkan Haggai 1:1-14

Kebanyakan orang sudah tahu bahwa kapal pesiar Titanic tenggelam 15 April 1912 dan menelan korban 1517 penumpang dan awak (cuma 706 orang yang selamat).  Juga kebanyakan orang tahu bahwa Titanic karam karena menabrak gunung es yang mengambang (iceberg), sehingga kapal yang panjangnya 269 meter itu robek sebagian selebar 91 meter pada sisi kanan, lalu air laut beku (sekitar 4-7 derajat celsius) masuk secara perlahan, dan setelah “kenyang menyedot” air selama 2 jam 40 menit kapal yang katanya unsinkable (tidak bisa ditenggelamkan) itu akhirnya kelelep bersama dengan segala cerita kehebatan dan kemewahannya.

            Tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa musibah terbesar abad 20 itu seharusnya bisa dihindari seandainya—sekali lagi, seandainya saja—senior wireless operator yang berusia 25 tahun, Jack Phillips, bersikap responsif dan mau mendengarkan peringatan yang disampaikan kepadanya.  Singkat ceritanya begini: saking banyaknya titipan kiriman telegram pribadi dari para penumpang kaya, Phillips yang sedang sibuk bukan main dengan alat telegramnya pukul 22:55 (waktu itu masih 14 April 1912), tiba-tiba menerima sebuah message yang isinya berupa ice-alert warning, yaitu mengenai bahaya gundukan es yang terapung di sekitar perairan Newfoundland.  Tanda awas tersebut dikirimkan oleh Cyril Evans, seorang operator radio dari SS Californian (sebuah kapal lain yang sedang melintas dengan jarak 36 kilometer tidak jauh dari area tersebut), yang melaporkan bahwa kapal Californian harus dihentikan pelayarannya lantaran dikelilingi oleh banyak gunung es.[i]

            Sayangnya, karena merasa terganggu dengan masuknya peringatan tersebut kedua kalinya (sebelumnya ia sudah menerima warning pertama pukul 21:30 dari kapal uap Mesaba), Jack Phillips malah dua kali membentak: “Shut up!” (“Diamlah!”) yang ditujukan kepada operator Californian.[ii]  Intinya, ia tidak mengindahkan rambu waspada tersebut dan sama sekali tidak melaporkan ke atasannya, Kapten Edward Smith, yang sedang beristirahat.  Maka terjadilah kecelakaan itu 45 menit kemudian: Titanic—yang sedang melaju dengan kecepatan 37 km per jam dalam kegelapan malam di Laut Atlantik Utara—menghantam iceberg pukul 23:40.  Sekali lagi, musibah kolosal itu dapat terhindarkan jika dan hanya jika yang namanya peringatan didengarkan, sebab standar teknologi (Kode Morse) ada di situ, warning-nya sudah diberikan, tetapi orang yang seharusnya menindak lanjutinya mengabaikannya begitu saja.  Ironis, bukan?

            Bulan Agustus tahun 520 SM, Tuhan juga memberikan warning kepada umat-Nya lewat nabi Haggai, yang dua kali berseru: “Perhatikan keadaanmu!” (1:5, 7).  Perkataan yang merupakan teguran itu dialamatkan kepada orang-orang Yehuda yang pulang kembali ke tanah perjanjian di Yerusalem dari tempat pembuangan (exile) di Babel.  (70 tahun sebelumnya, yaitu 586 SM, Yerusalem diporakporandakan oleh Nebukadnezar, dan bait suci, tempat ibadah kebanggaan mereka yang dibangun Salomo, dihancurkan.)  Sesudah tiba kembali di Yerusalem dari Babel pada 538 SM, sebetulnya ada sedikit upaya mereka untuk membangun kembali bait suci melalui penggarapan struktur fondasinya (537-536 SM; Ezra 5:16), namun lambat laun seiring dengan berjalan waktu pekerjaan itu kemudian terhenti sama sekali.

            Apa yang sebetulnya terjadi?  Sangat mungkin yang terjadi adalah kombinasi dari faktor eksternal dan faktor internal.  Faktor eksternal adalah adanya oposisi atau hambatan dari pihak luar yang tidak senang terhadap pembangunan rumah Tuhan (lih. Ezra 4:1-5, 23-24), sehingga pekerjaan tersebut benar-benar terhenti.  Secara psikologis, bisa dikatakan setelah itu warga Yehuda mulai mengalami kekecewaan serta merasa mereka sedang tidak dilindungi atau bahkan ditinggalkan Tuhan.[iii]  Faktor internal adalah faktor keadaan umat sendiri yang tampaknya mengalami kelesuan, frustrasi, dan kelelahan dengan situasi yang tidak menentu, sehingga secara perlahan setelah terlintas beberapa tahun, mereka mulai melupakan pentingnya beribadah di rumah Tuhan dan melalaikan upaya pembangunan bait suci.

           Jadi, kitab Haggai lebih menyoroti aspek internal, yakni situasi perikehidupan komunitas Yehuda yang mengalami perubahan, di mana ketika situasi roda sosial-ekonomi beranjak bangkit, yang ditandai dengan pembangunan rumah penduduk, perputaran roda perdagangan, pertumbuhan ladang dan pertanian, serta kehidupan kembali ke suasana yang nyaman dan aman, umat Tuhan justru “menikmati” keadaan tersebut sebagai sebuah kewajaran.  Artinya, mereka menjadi terbiasa hidup tanpa tempat ibadah di bait suci.

            Saya khawatir situasi kita yang terbiasa dengan ibadah online di rumah melalui perangkat gawai selama dua tahun belakangan ini bisa saja membuat cukup banyak jemaat mulai berubah konsep tentang pentingnya beribadah secara onsite di rumah Tuhan, yaitu beribadah di dalam gedung gereja.  Saya cukup terkejut ketika baru-baru ini seorang aktivis gereja senior bilang begini: “Saya pikir ibadah online di rumah lebih enak, lebih praktis, saya tidak perlu mandi dan istri saya tidak usah repot-repot harus dandan, hemat waktu tidak perlu naik kendaraan pergi ke [gedung] gereja hari minggu.”  Dari satu segi, apa yang diutarakannya ada benarnya dan irit (irit waktu, irit dandan/mandi, irit bensin, dan maaf, mungkin juga, irit kolekte), namun demikian apakah ibadah secara daring terus menerus itu “sehat” secara spiritual?

            Realitas ini memperlihatkan bahwa di masa wabah virus corona cukup banyak orang yang “menikmati” periode libur/absen dari kewajiban melakukan ibadah atau kebaktian secara hadir badani di gereja asalnya,[iv] dan kalau pun mereka beribadah secara digital, dalam praktiknya sebagian jemaat lebih sering “berdarmawisata” mengunjungi satu gereja ke gereja lainnya (termasuk secara tidak sengaja dalam kepolosannya mengikuti kebaktian/webinar dari aliran bidat atau kelompok ekstrem).  Intinya, ibadah secara livestreaming dianggap lebih nyaman dan menjadi tidak terikat pada aturan atau waktu.  Lalu, bagaimana seharusnya umat Tuhan bersikap terhadap eksistensi rumah Tuhan atau (gedung) gerejanya?  Apakah gereja kita telah menjadi “anak yang terhilang” di zaman covid ini, atau sebetulnya, kitalah sebagai jemaat yang telah menjelma menjadi “anak yang terhilang” di masa kini?

IBADAH DI RUMAH TUHAN SEHARUSNYA MENJADI PRIORITAS PERTAMA DAN UTAMA

            Saya rasa kita harus kembali kepada prinsip yang diajarkan dalam firman Tuhan, khususnya kitab Haggai, sebab setelah 16 tahun berlalu (536-520 SM), kerinduan atau gairah umat untuk membangun dan beribadah di rumah Tuhan boleh dikata merosot ke titik terendah, di mana mereka pada waktu itu sudah terbiasa beribadah tanpa bait suci (the temple).  Maka tampillah nabi Haggai dengan peringatan yang mengandung teguran: “‘Beginilah firman TUHAN semesta alam: Bangsa ini berkata: Sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali rumah TUHAN!’  ‘Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?” (1:2, 4).

            Dalam konteks ini, yang sedang ditegur oleh Haggai bukan hanya para pemimpin atau petinggi umat, melainkan semua orang Yehuda yang tampak bersikap ogah-ogahan, apatis, acuh tak acuh, egois, dan cenderung tidak peduli lagi terhadap eksistensi rumah Tuhan.  Perhatikan: Inisiatif untuk memulai kembali pembangunan bait suci berasal mula dari Tuhan, yang menggerakkan hati raja Persia sehingga ia mendukung rencana ini (Ezra 1:1-4), dan yang menggerakkan orang-orang pilihan-Nya untuk menyampaikan suara kenabian (Hag. 1:1).  Inisiatif atau gerakan itu sama sekali tidak tampak di antara kaum Yehuda, dan juga herannya, tidak terlihat pada dua petinggi waktu itu: Zerubabel, bupati Yehuda, dan Yosua, imam besar waktu itu.  Jikalau pada mereka semua tidak ada gerakan atau motivasi untuk itu, kenapa Tuhan perlu repot-repot berinisiatif menggerakkan bangsa yang sedang loyo dan tidak ada minat untuk membangun kembali rumah Tuhan?

            Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita menyimak lagi apa yang sudah disebutkan di bagian awal: Warga Yehuda berpendirian apatis oleh sebab mereka sedang berhadapan dengan kombinasi situasi eksternal (yaitu perlawanan atau hambatan pihak luar) dan juga situasi internal (yakni sikap umat yang lebih memedulikan kepentingan kesejahteraan diri sendiri).  Lalu, apa yang mereka pedulikan secara internal?  Menurut Elie Assis, di tengah segala persoalan yang melanda perikehidupan mereka, “the people concentrated on their livelihood and their personal survival, neglecting the public enterprise of building the temple.[v]

Artinya, sama dengan naluri kebanyakan orang, umat Tuhan lebih memusatkan konsentrasi mereka pada penghidupan, keamanan, dan kenyamanan diri masing-masing, sambil pada saat bersamaan tidak memedulikan kepentingan yang lebih utama: pembangunan rumah Tuhan.  Itulah sebabnya Haggai dengan gaya bahasa ironi dan satire mengingatkan bahwa pendirian mereka yang mendandani rumah mereka dengan baik sambil pada saat bersamaan mengabaikan pendirian rumah Tuhan adalah sikap yang tidak pantas.

            Haggai berlaku bagaikan pimpinan proyek atau pengawas bangunan yang datang dengan sentilan yang to the point, karena bani Yehuda sudah salah meletakkan prioritas mereka, yakni dengan mengutamakan hal-hal yang tidak utama, khususnya masalah ekonomi dan penghidupan.  Elie Assis melihat kemungkinan ke arah sana, sebab “the people aspire first to personal economic consolidation because of their misapprehension of the difficult economic situation.[vi]  Maka, nabi menegur agar mereka mengubah haluan, dengan harapan mereka mengesampingkan prioritas kepentingan ekonomi pribadi dan kembali memusatkan daya dan upaya mereka pada penyelesaian pembangunan rumah Tuhan.

            Jadi, persoalan bangsa Yehuda waktu itu sebetulnya adalah persoalan banyak jemaat Tuhan pada zaman ini, terlebih di masa pandemi sekarang, di mana secara teoritis berdasarkan pengakuan iman dan kehendak dalam diri kita, kita maunya mengutamakan Tuhan (semua orang Kristen akan bilang: “urusan ibadah dan urusan Tuhan harus nomor satu”).  Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, secara realitas kehidupan yang riil, prioritas tiap orang—cepat atau lambat—mengalami pergeseran.  Misalnya, dalam hal ibadah, cita-cita sebagian orang adalah beribadah kepada Tuhan harus selalu nomor satu terus menerus, namun setelah lewat sejangka waktu, cita-cita tinggal cita-cita dan kenyataan berubah wujud menjadi berbeda sama sekali.  Rasanya kalau mau jujur, cukup banyak di antara jemaat atau hamba Tuhan yang dalam praktiknya menomor-duakan Tuhan dan ibadah.  Artinya, cita-cita menomor-satukan ibadah dan kepentingan gereja dalam implementasinya lebih sering “jauh api dari panggang.”

            Katakanlah—bila pandemi berkepanjangan dan semua terpaksa masih dilakukan lewat media digital—kita tetap berkomitmen untuk melakukan ibadah secara teratur dan online, namun pertanyaannya: apakah betul dalam pelaksanaannya ibadah kepada Tuhan adalah nomor satu, ataukah ibadah sudah berubah menjadi sekadar “tambahan informasi” namun “minim relasi”?  Lalu, semakin hari kita semakin tidak bisa “experiencing the presence of God,” dan hidup kerohanian kita semakin hari semakin hambar dan gersang.

            Contoh lain dapat kita lihat, terutama di masa permulaan pandemi (sejak Maret 2020), cukup banyak jemaat yang peduli dan sering berdoa supaya pandemi segera berakhir dan supaya bisa segera beribadah kembali di gereja.  Kerinduan dan gairah untuk beribadah secara onsite di rumah Tuhan adalah sebuah semangat yang baik.  Bagaimana dengan kerinduan dan gairah itu sekarang ini?  Jangan-jangan, karena sudah betah dengan situasi yang nyaman seperti sekarang—bahkan “nancep” atau “terbius” di rumah atau kesibukan kita masing-masing—kita malah sudah terlanjur “membaptis” segala gawai dan perangkat teknologi terkini untuk dijadikan “sobat” atau, lebih parah lagi, “juruselamat” kita yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari.

Maka pertanyaannya: Kemana hilangnya kerinduan dan passion untuk “worshipping God in the house of the Lord”?  Saya khawatir seiring dengan menguapnya kerinduan dan gairah itu, yang tercipta secara online hanyalah self-worship, yang sejatinya hanya ibadah hasil rekaan tiap-tiap orang menurut individual faith (iman suka-sukanya sendiri), sehingga konsep gereja (sebagai himpunan dan persekutuan orang-orang percaya di segala abad dan tempat) menjadi lenyap juga.  Kalau sudah seperti itu, teguran Haggai—“Perhatikanlah keadaanmu”—seharusnya benar-benar kita simak, teristimewa bila ada di antara kita yang sudah jauh menyimpang dan berperilaku “dingin” terhadap worship di hari minggu!

UMAT YANG MENGABAIKAN TEMPAT IBADAH AKAN KEHILANGAN BERKAT

            Sebagai lanjutan dari teguran di atas, Haggai menyambungnya dengan taklimat mengenai konsekuensinya bila mereka mengabaikan rumah Tuhan: “Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit; kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas; dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang!” (1:6).

            Setelah itu ia meneruskan demikian: “Kamu mengharapkan banyak, tetapi hasilnya sedikit, dan ketika kamu membawanya ke rumah, Aku menghembuskannya.  Oleh karena apa? demikianlah firman TUHAN semesta alam.  Oleh karena rumah-Ku yang tetap menjadi reruntuhan, sedang kamu masing-masing sibuk dengan urusanrumahnya sendiri.  Itulah sebabnya langit menahan embunnya dan bumi menahan hasilnya, dan Aku memanggil kekeringan datang ke atas negeri, ke atas gunung-gunung, ke atas gandum, ke atas anggur, ke atas minyak, ke atas segala yang dihasilkan tanah, ke atas manusia dan hewan dan ke atas segala hasil usaha” (1:9-11).

            Intinya, akibat dari pengabaian terhadap ibadah dan bait suci atau rumah Tuhan (“rumah-Ku”), seluruh jerih payah orang Yehuda dalam lingkup ekonomi-perdagangan-pertanian (“urusan rumahnya sendiri”) bukan cuma tidak diberkati, melainkan juga tidak efektif dan tidak produktif (“hasilnya sedikit”).  Hal ini amat sangat mirip dengan janji berkat dan kutuk sebagaimana yang pernah disampaikan Tuhan lewat Musa dalam Ulangan 28:1-46.  Sebagai contoh, Haggai 1:6, 9 sangat mirip dengan isi perkataan dalam Ulangan 28:38-40 (demikian pula Haggai 2:17 mirip dengan Ulangan 28:22).

            Maka, frasa “Perhatikan Keadaanmu” dapat dimaknai sebagai upaya nabi untuk mengarahkan perhatian bangsa itu pada kenyataan kekinian hidup mereka, dan frasa tersebut bisa diartikan: “Sekarang perhatikan dengan teliti apa yang sedang kamu alami saat ini.”  Ternyata yang mereka sedang alami bukan hanya kegagalan hidup dengan keuntungan yang minim, melainkan lebih parah lagi, adanya ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga sekalipun sudah berjerih lelah mengusahakannya dari hasil bumi (gandum, anggur, minyak, hewan, tanah pertanian).

            Semua itu terjadi oleh karena umat secara keseluruhan hanya memedulikan kepentingan dan urusan keperluan rumah tangga mereka sendiri—yang sebetulnya sekunder, dengan akibat mereka mencampakkan urusan primer, yang lebih besar dan utama: kepentingan rumah Tuhan.  Itulah sebabnya sejak awal umat Yehuda kompak bilang begini: “Sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali rumah TUHAN!” (1:2).

            Hinckey G. Mitchell, et al. mengomentarinya demikian: “At first sight this objection [yaitu ucapan umat: “Sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali rumah TUHAN”] would seem to mean that those who made it were waiting for the expiration of the seventy years of Jeremiah’s prophecy. . . .  The answer given to it shows that it was dictated by selfishness, which manifested itself also in the comparatively trivial personal affairs to the neglect of the larger issues that ought to interest all the members of the community.”[vii]  Artinya, alasan utama yang mendasari pengabaian kepentingan rumah Tuhan sesungguhnya adalah “selfishness,” yakni orang Yehuda secara egois lebih menomor-satukan urusan pribadi ketimbang urusan yang lebih utama: ibadah.

Jadi, karena mereka repot-repot setengah mati cuma memberikan prioritas memapani rumah mereka, sedangkan rumah Tuhan dibiarkan terbengkalai, akibat yang terjadi tidak seperti yang mereka harapkan, yaitu bukan berkat yang datang ke atas hidup rumah tangga mereka, melainkan kutukan demi kutukan turun dalam lingkup sosial-ekonomi (panen-panen merosot, sumur-sumur pada kering, ladang-ladang tidak produktif, serta profit/cuan seret).  Singkatnya, ketidaksetiaan umat terhadap ibadah dan urusan rumah Tuhan akan menuntun pada kutukan, sebaliknya ketaatan pada Tuhan dan perintah-Nya akan mendatangkan berkat.

            Pelajaran apa yang dapat kita petik dari peristiwa ini?  Kitab Haggai seakan-akan menegaskan sebuah kepastian janji Tuhan: Siapa yang menaati perintah Tuhan, berkat dan perkenanan Tuhan akan menyertai kehidupan orang itu pada masa kini (present) dan masa mendatang (future; lih. Hag. 1:13; 2:20).  Demikian pula umat yang setia dalam beribadah di rumah Tuhan pada masa kini akan senantiasa mengalami kehadiran dan kemuliaan Allah pada masa eskatologis nanti (Hag. 2:7-10, 21-23).  Pada waktu itulah umat Tuhan akan mengalami bahwa kemegahan Rumah Tuhan di akhir zaman nanti “akan melebihi kemegahan” rumah Tuhan yang di bumi (2:10).  Kalau Tuhan sudah kasi garansi seperti ini, masakan kita tidak percaya?

Hal ini juga berarti bahwa umat yang mengutamakan kepentingan ibadah di rumah Tuhan meskipun di tengah krisis dan kesusahan dunia ini akan melihat kehadiran, kemuliaan, dan damai sejahtera yang dikerjakan Tuhan di hari depan nanti.  Pertanyaannya: Apakah saudara dan saya di masa yang sulit sekarang ini masih mementingkan ibadah, atau sebaliknya lebih memedulikan urusan-urusan pribadi dan ekonomis yang sifatnya material dan sementara?  Apakah kita masih punya komitmen yang kokoh untuk beribadah, khususnya ibadah di rumah Tuhan/gereja, ketika pandemi mulai mereda dan ketika ibadah onsite dibuka kembali?

Saya kembali risau sewaktu mendengar ada pimpinan gereja yang mengeluhkan bahwa di gerejanya ada jemaat yang absen terus dari ibadah onsite, padahal yang bersangkutan bisa pergi ke kantor/pabrik, bisa jalan-jalan ke mall, tempat wisata atau ke luar kota, dan bisa menyempatkan diri kulineran ke mana-mana.  Ironis, bukan?  Bila ternyata pandemi yang baru berlangsung dua tahun telah sukses “memadamkan” cinta untuk rumah Tuhan, bagaimana pula dengan pengalaman umat Yehuda yang tidak punya rumah Tuhan selama 70 tahun di masa pembuangan di Babel?

            Namun ternyata kita belajar satu hal yang positif, atau boleh dikatakan, sebuah kesaksian yang baik, dari umat Yehuda yang jumlahnya kira-kira 50 ribu orang (yaitu the remnant, sisa orang yang pulang dari pembuangan): Peringatan nabi Haggai terbukti didengarkan oleh pimpinan dan seluruh umat (Hag. 1:12-14), dan itu menandakan ada pertobatan pada segenap jemaah, dan mereka sungguh-sungguh menaati firman Tuhan yang diamanatkan sebelumnya (1:8:“Jadi naiklah ke gunung, bawalah kayu dan bangunlah Rumah itu; maka Aku akan berkenan kepadanya dan akan menyatakan kemuliaan-Ku di situ, firman TUHAN”).  Setelah itu mereka meneruskan pembangunan bait suci hingga selesai 5 tahun kemudian pada 515 SM (Hag. 1:14).

            Jadi, mari kita ikuti teladan mereka: kita dengarkan peringatan dari firman Tuhan, sambil bertobat sungguh-sungguh, terutama bila betul selama dua tahun pandemi ini kita melalaikan ibadah, dan bahkan kita tidak peduli akan segala urusan gereja atau kepentingan rumah Tuhan.  Bila kita benar-benar melakukannya, berkat-berkat dari Tuhan akan mengalir dalam hidup rumah tangga, pekerjaan, dan pelayanan kita!

APLIKASI PENUTUP

            Seorang wartawan yang bernama Laura Spinney menulis sebuah buku yang berjudul Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How It Changed the World.  Ketika menggambarkan suasana dunia dan masyarakat yang terdampak wabah Spanish Flu antara Maret 1918-Agustus 1919 yang merenggut nyawa sekitar 50-80 juta orang, Spinney menulis kalimat singkat ini di awal di Bab 10: “Your best chance of survival was to be utterly selfish[viii] (“Kesempatan terbaik bagi anda untuk bertahan hidup adalah sama sekali bersikap egois”).  Maksudnya, cara manusia mempertahankan hidupnya supaya tidak terinfeksi pada periode itu adalah dengan melakukan isolasi mandiri, yaitu secara ekstrem berdiam diri di rumah, tidak bertemu atau menerima tamu, dan secara egois menimbun persediaan makanan dan air untuk diri sendiri, serta mengabaikan segala bentuk sosialisasi dengan siapa pun, termasuk tidak memedulikan segala bentuk permintaan tolong atau bantuan dari siapa pun.

Di satu pihak, isolasi mandiri semacam ini dengan tujuan meningkatkan survival rate seseorang adalah sebuah ide proteksi-diri yang baik, namun di pihak lain, secara tidak langsung dan bisa juga lama kelamaan tanpa disadari, masyarakat—dan juga termasuk orang Kristen yang mempraktikkannya secara ekstrem—akan terbiasa hidup dengan semacam pola selfishness atau ketidakpedulian terhadap kebutuhan orang lain, dan bisa juga kebutuhan dalam lingkup gereja, pelayanan, dan misi.

Cobalah periksa diri kita masing-masing: Belakangan ini kita semakin pedulikah, atau sebaliknya semakin egois di masa pandemi ini?  Terhadap ibadah atau kepentingan rumah Tuhan, kita semakin peduli, biasa-biasa saja, atau tidak peduli sama sekali?  Camkan hal ini: Setiap krisis yang dihadapi dalam hidup ini akan menyingkapkan karakter atau watak yang asli pada seseorang, termasuk orang Kristen.  Bila di tengah periode sulit ini kasih dan kepedulian kita kian bertambah, berbahagialah anda.  Sebaliknya bila kasih kita makin mendingin dan skala kepedulian kita makin meredup (padahal sebagai orang percaya seharusnya kita menjadi garam dan terang bagi dunia ini), kalau begitu apa bedanya orang gereja dengan mayoritas masyarakat dunia ini yang kebanyakan terbiasa bersikap selfish dan indifferent kepada sesamanya?

            Selain itu, pertanyaan yang perlu dijawab kita semua adalah: Apakah sekarang ini kita lebih merindukan ibadah secara virtual, atau ibadah secara onsite di dalam gedung gereja kita masing-masing?  Heran sekali, baru dua tahun pandemi berjalan, cukup banyak pihak yang perlahan-lahan merasa nyaman berbakti dalam lingkup video maya dan bukan kebaktian yang riil di gereja asalnya.  Mestinya kita mulai menyadari bahwa “kunjungan” atau “kuliner rohani” kita di hari minggu pagi (dan bidston di hari-hari lainnya) yang kadang-kadang cuma menonton sebentar dari satu gereja ke gereja lain, lalu beralih ke channel lain (tujuannya: mencari-cari pengkhotbah favorit kesukaannya), sebetulnya bukanlah worship dan persekutuan yang riil.

Maksud saya, gonta-ganti ibadah dari satu gereja ke gereja lain lewat Youtube atau Instagram mungkin saja menambah khasanah pengetahuan kita tentang tema atau topik yang semakin banyak, masif, dan kontroversial, namun demikian hal itu hanyalah semacam “pelarian” dari persekutuan (orang kudus) yang riil menuju pada lingkup pengetahuan rasionalistis semata.  Dalam viewing ibadah siber, apakah Tuhan Allah betul-betul masih dibutuhkan dan disembah?  Tambahan pula, apakah “piknik rohani” secara daring ini semakin menguatkan persekutuan kita secara rohani, atau justru sebaliknya, semakin membawa banyak insan masuk dalam keterasingan atau bahkan kesepian (loneliness)?

Seharusnya semua menyadari bahwa sebagus-bagusnya ibadah online atau rekaman, realitasnya tetap terasa ada “sesuatu yang hilang,” oleh karena tidak hadirnya aspek badani secara riil dan langsung, khususnya pada saat menyanyi, mendengar khotbah, atau apalagi bila ada sakramen baptisan dan perjamuan kudus (misalnya dalam kebaktian hybrid).  Bila yang hadir dalam tayangan ibadah hanyalah pengkhotbah semu, dalam bentuk suara atau video, lama-kelamaan akan terasa hambar, gersang, dan akhirnya terbentuklah sebuah superficial community, yakni sebuah komunitas yang dangkal di permukaan dan tercerai dari persekutuan sesama saudara seiman.  Ketidak-tersambungan antar-sesama bila berjalan cukup lama akan menuntun pada kerenggangan, keterasingan, yang pada sebagian orang berkembang menjadi perilaku semakin kurang peduli atau cuek terhadap keadaan dan kebutuhan pihak lain.

Lalu, apa yang harus dilakukan gereja bila pandemi ini berkepanjangan dan mau-tidak-mau ibadah online atau hybrid masih tetap berlanjut seperti sekarang?  Menurut pendapat saya—walaupun masih meneruskan ibadah online atau hybrid—secara kolektif gereja tetap harus bergumul, berdoa, sambil berharap akan pulihnya kembali ibadah onsite, di mana gereja atau orang percaya dapat kembali pada sebuah ibadah atau pelayanan yang konkret dengan interaksi face-to-face, sama seperti jemaat mula-mula mementingkan kehadiran yang nyata dalam persekutuan (bdk. 2Yoh. 12: “tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan berbicara berhadapan muka dengan kamu, supaya sempurnalah sukacita kita”).

            Bila gereja dan persekutuan orang percaya di dalam rumah Tuhan sering dilambangkan bagaikan sebuah kapal atau bahtera, saya rasa tidak berlebihan “bahtera” gereja itu pada saat yang bersamaan harus memperhatikan warning dari firman Tuhan.  Kita sudah tahu di awal tulisan ini dan sudah tercatat dalam sejarah, senior wireless operator pada kapal Titanic, Jack Phillips, mengabaikan dan tidak mau mendengarkan peringatan yang disampaikan kepadanya dengan akibat yang mengerikan, yaitu karamnya kapal raksasa itu bersama dengan 1517 nyawa melayang.  Rasanya terlalu mahal dan benar-benar tegaan bila kita yang berada dalam “bahtera” gereja mengabaikan tanda awas dari firman Tuhan, serta membiarkan “bahtera” itu tenggelam di zaman yang sulit ini.

            Di masa pandemi yang berkepanjangan dan luar biasa daya rusaknya secara global, semua gereja dan pimpinan/anggota gereja yang sedang “berlayar” sedang diuji eksistensi kekuatan “bahtera”nya, sebab kita sedang berada pada keadaan yang sukar bukan main dan gereja di seluruh dunia sedang mengalami ujian yang amat sangat berat.  Teguran Haggai—“Perhatikanlah keadaanmu”—sekali lagi, betul-betul harus kita camkan, terutama bila ada di antara kita yang sudah terbiasa mengabaikan peringatan dari firman Tuhan dan bersikap tidak peduli terhadap rumah Tuhan atau keutamaan worship di hari minggu.  Jangan sampai gereja saudara (atau kita sendiri sebagai anggotanya) suatu hari membuat heboh dan dijuluki sebagai “Titanic Jilid Dua.”  Kiranya Tuhan memberikan kemurahan dan menjauhkan hal itu terjadi pada saudara dan saya!


[i]Lih. Anton Gill, Titanic: Building the World’s Most Famous Ship (Guilford: Lyons, 2011) 162-163.

[ii]https://www.nbcnews.com/id/wbna47018360.

[iii]Menurut Elie Assis: “The feeling of abandonment by God would seem to be a continuation of the popular and prevalent exilic and post-exilic view that God had abandoned and rejected His people; that they were no longer His chosen people.  These feelings led to great despair, which had to be countered by prophets and poets” (“To Build or Not to Build: A Dispute between Haggai and His People (Hag 1),” Zeitschrift für die alttestamentliche Wissenschaft 119/4 [2007] 518).

[iv]Saya belum menemukan hasil survei mengenai hal ini di Indonesia, namun hasil jajak pendapat yang dilakukan Pew Research Center di Amerika Serikat justru menemukan fakta yang miris, yaitu 9 dari 10 orang Kristen di sana yang telah rutin “menonton” kebaktian secara daring mengatakan mereka sangat puas (54 persen), cukup puas (37 persen), dan hanya 8 persen dari para responden yang bilang tidak puas (https://www.pewforum.org/2020/08/07/americans-oppose-religious-exemptions-from-coronavirus-related-restrictions/).  Hal ini menandakan kebanyakan orang Kristen di sana lebih “menikmati” suasana ibadah di rumah ketimbang balik lagi ke gereja asalnya.

[v]“To Build or Not to Build” 515-516.

[vi]“To Build or Not to Build” 516.

[vii]A Critical and Exegetical Commentary on Haggai, Zechariah, Malachi and Jonah (ICC; New York: Scribner, 1912) 45.

[viii]Laura Spinney, Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How It Changed the World (London: Jonathan Cape, 2017).