
Mengingat Hari Reformasi (31 Oktober 1517-31 Oktober 2021)
PENDAHULUAN
Semua kalangan pendidikan sejagat raya pasti tahu bahwa universitas top notch nomor satu se-dunia saat ini adalah Harvard University (tolong jangan salah nangkep: saya menyebut Harvard, bukan Harvest University, yang berlokasi di Lusaka, Zambia; juga bukan institusi Harvest lainnya, apalagi Harvest Cookies). Harvard yang luas kampusnya 85 hektar dan terletak di Cambridge, Massachusetts (kira-kira 5 kilometer barat laut dari kota Boston), adalah universitas tertua di Amerika Serikat yang didirikan 3 September 1636.
Tetapi, tidak semua orang tahu bahwa Harvard University dirintis oleh seorang pendeta dari Gereja Puritan atau Reformed yang bernama John Harvard, yang menyumbangkan separo tanah miliknya untuk lokasi kampus serta 400 jilid buku untuk perpustakaan. Aslinya, ia adalah seorang pengkhotbah Calvinis pada waktu mewujudkan universitas ini (yang pada awalnya adalah semacam college). Sampai sekarang, terdapat patung perunggu John Harvard untuk menghormatinya selaku pendiri, dan patung yang dibuat tahun 1884 terletak di sebelah barat University Hall atau gedung utamanya.
Juga tidak banyak yang tahu bahwa Universitas Harvard dibangun dengan satu motto atau tujuan guna membawa para peserta didiknya untuk “To Know God and Jesus Christ” (“Mengenal Allah dan Yesus Kristus,” sebuah frasa yang diambil dari Yohanes 17:3). Artinya, visi-misi awal dari Harvard bukanlah sebuah universitas, apalagi universitas yang sekular, melainkan sebuah college yang mirip dengan seminari atau STT.
Sampai abad 19, persisnya tahun 1869, rektor Harvard saat itu, Charles W. Elliot, menegaskan bahwa keberadaan institusinya adalah untuk “serves Christ and the church” (“melayani Kristus dan gereja”). Itulah sebabnya pada logo universitas yang ada waktu itu tertera: “Veritas, Christo, Ecclesiae” (“Kebenaran, Kristus, Gereja”). Tidak heran sejak mulanya semua dosen dan mahasiswa di sana melakukan studi yang serius tentang Alkitab, dan menurut Timothy George: “Central to this entire enterprise was the serious study of Scripture, with an emphasis on the mastery of Hebrew, as well as Greek and Latin, for the proper interpretation of the Bible” (“Harvard’s First Light”; https://www.firstthings.com/web-exclusives/2017/06/harvards-first-light). Motif meninggikan Alkitab ini bahkan terlihat pada patung perunggu John Harvard, di mana (ada simbol) Alkitab diletakkan di pangkuannya, sedangkan buku atau kitab lainnya diletakkan di bawah kursinya. Maksudnya sudah jelas: Alkitab sangat diprioritaskan ketimbang buku-buku dari ilmu-ilmu lainnya.
Tetapi, itu adalah cerita masa lampau. Realitas yang ada saat ini adalah: setelah berlalu beberapa generasi dan setelah berganti pimpinan, pengurus, dosen dari angkatan demi angkatan, tiba-tiba logo Harvard berubah, dari yang lama “Veritas, Christo, Ecclesiae” (“Kebenaran, Kristus, Gereja) diganti menjadi hanya “Veritas” (“Kebenaran”) saja. Jadi, tidak ada kata “Kristus,” dan tidak ada kata “gereja.” Perubahan itu adalah perubahan yang bukan main besar akibatnya.
Maka, walaupun hari ini di Harvard University masih ada fakultas teologinya, namun komposisi ajarannya beserta dosen-dosennya mengambil posisi doktrinal yang amat sangat liberal, pluralis, sekular, menolak finalitas Kristus, Alkitab sebagai firman Allah, dan doktrin-doktrin dasar lainnya. Beberapa waktu yang lalu terindikasi adanya Satanic Ritual di dalam kampus (Anthony Zurcher, “Harvard’s Satanic Mass Conjures Controversy”; https://www.bbc.com/news/blogs-echochambers-27476868). Bahkan sekarang ini LGBTQ diakomodir dan diberi fasilitasi berupa kantor bagi dosen, staf, dan mahasiswa yang orientasi seksualnya ke arah sana (https://bgltq.fas.harvard.edu/). Coba katakan: Ini namanya kemajuan atau kemunduran?
Prediksi saya: lama kelamaan patung perunggu John Harvard—sebagai satu-satunya “bukti” yang tersisa dari keortodoksan masa lalu—akan disingkirkan dari universitas ini. Beberapa waktu belakangan ini patung itu ternyata berusaha dirusak dengan coretan-coretan atau di-vandalized (heran ya, patungnya aje dimusuhin; https://nypost.com/2020/07/27/popular-harvard-statue-vandalized-with-devil-worship-graffiti/).
Memang Harvard sekarang adalah universitas nomor satu di dunia, ternama, dan kaya raya. Tetapi, buat apa? Dan apa maknanya buat dunia kekristenan? Tidak ada sama sekali. Bukankah itu bisa diibaratkan seperti seorang Kristen yang dulunya miskin namun sangat rohani, sebaliknya setelah sukses dan makmur perlahan-lahan mulai menjadi sekular dan akhirnya meninggalkan iman serta kasih yang mula-mula itu? Mungkin ia bangga dengan keberhasilan dan kekayaannya, tetapi buat apa?
Bukankah apa yang sudah terjadi pada Harvard terulang lagi sejarahnya pada institusi seperti Princeton Theological Seminary dan Fuller Theological Seminary, dua-duanya di Amerika Serikat, yang berubah dari seminari injili menjelma jadi seminari yang sama sekali tidak atau kurang injili? Juga bukankah dulunya Yale University dan beberapa yang lain pada awal didirikan adalah institusi yang baik dan konservatif teologinya sebelum perlahan-lahan terwujud menjadi amat sekular dan pluralis?
Bila universitas atau STT yang nota bene adalah tempat berkumpulnya orang-orang intelek dan terdidik saja bisa berubah atau termodifikasikan sedemikian rupa, bukankah gereja juga bisa mengalami perubahan atau modifikasi yang serupa, termasuk gereja-gereja yang berlatar belakang Reformed atau Gereformeerd? Maka, di tengah suasana memperingati Hari Reformasi yang ke 504, saya mengajak kita memikirkan kembali konsep Sola Scriptura sambil melakukan refleksi dan introspeksi lewat dua pertanyaan berikut ini.
APAKAH SOLA SCRIPTURA SECARA DEFINITIF MENENTUKAN ARAH PELAYANAN KITA?
Saya rasa definisi yang cukup ringkas tentang Sola Scriptura (the Bible Alone; Hanya Alkitab) dapat ditemukan pada tulisan John C. Peckham. Menurutnya: “ . . . sola Scriptura means that: (1) Scripture is the uniquely infallible source of divine revelation that is available to contemporary humans collectively, (2) Scripture alone provides a sufficient and fully trustworthy basis of theology, and (3) Scripture is the uniquely authoritative and final norm of theological interpretation that norms all others” (“Sola Scriptura: Reduction Ad Absurdum?,” Trinity Journal 35NS [2014] 200). Maksudnya, Sola Scriptura adalah penegasan bahwa Alkitab adalah sumber penyataan (wahyu) Allah yang dapat diandalkan, yang menyajikan landasan yang memadai dan dapat sepenuhnya dipercaya untuk berteologi, sehingga merupakan patokan final yang otoritatif bagi penafsiran teologis.
Lebih lanjut dalam artikelnya Peckham juga secara negatif menegaskan bahwa Sola Scriptura tidak berarti “Interpretive communities and tradition(s) past and present should be ignored and/or dismissed” (“Sola Scriptura” 200). Menurut saya, penekanan ini (yaitu komunitas penafsir atau tradisi masa lampau seharusnya jangan diabaikan) sangat penting untuk diperhatikan, karena “suasana” teologi kekinian (khususnya ketika membahas tentang bibliologi atau doktrin tentang Alkitab) mengarah pada situasi yang kompleks, cair, dan secara tendensius cenderung ingin memutuskan tali ikatan antara teologi kekinian (present) dengan tradisi teologis masa lampau (past), yaitu khususnya dengan tradisi para Reformator abad 16, seperti Martin Luther, Yohanes Calvin, Philip Melanchthon, Ulrich Zwingli, Johannes Oecolampadius, dan Martin Bucer.
Sebab itu apa yang dikatakan Kevin J. Vanhoozer adalah benar: “Church tradition accorded supreme authority to Scripture,” namun ironinya adalah “that many of those today who speak up for tradition turn a deaf ear to what tradition has actually handed down concerning the supremacy of Scripture” (The Drama of Doctrine: A Canonical-Linguistic Approach to Christian Theology [Louisville: Westminster John Knox, 2005] 164-165). Maksud Vanhoozer, bila kita bersedia tunduk pada tradisi yang mengakui Alkitab sebagai otoritas atau Pengatur (Rule) satu-satunya, kita harus sadar bahwa Pengatur itu (yaitu Alkitab) tidak diatur oleh yang lain: “The ultimate purpose of the Rule is to let Scripture interpret Scripture. Here is the end of the matter: the Rule rules but is itself ruled (by the canon); the canonical script rules but is not itself ruled” (The Drama of Doctrine 207 [penekanan ada pada aslinya]).
Justru di sinilah persoalannya: suasana teologi kekinian (baik injili, atau lebih-lebih lagi, non-injili) sangat condong ingin mengatur dengan tujuan menurunkan penggunaan Alkitab, dan sekaligus menceraikan Alkitab dari akarnya dalam tradisi Reformasi abad 16. Mengapa? Karena mereka tahu dengan jelas: para Reformator-lah yang “menemukan kembali” Alkitab, meninggikan kembali Alkitab, serta “mengfungsikan kembali” Alkitab setelah “ditenggelamkan” oleh Gereja Roma Katolik selama ratusan tahun.
Artinya, cikal bakal doktrin yang solid tentang Alkitab yang dipelopori oleh Luther dan diteruskan oleh Calvin (yang telah memberikan tekanan yang tepat pada otoritas Alkitab dan konsep Sola Scriptura sebagai patokan dan sumber penafsiran yang benar di masa lalu) “dicintai” (karena tradisi Reformed yang tidak bisa dihapuskan) namun sekaligus dibenci (karena dianggap terlalu meninggikan Alkitab). Oleh sebab itu situasi teologi modern seakan-akan hendak memutuskan tali ikatannya dengan teologi Reformasi. Bahasa to the point-nya, tradisi Reformasi seperti dianggap tidak ada, atau paling sedikit, dianggap tidak penting lagi.
Tetapi, justru pada kesempatan ini saya ingin menegaskan: Apabila gereja dan teologi ingin berjalan dalam jalur yang benar, maka tidak ada jalan lain, gereja dan teologi yang sehat harus kembali pada makna yang tepat tentang Alkitab dan melayani dengan mengandalkan Alkitab sebagai firman Tuhan yang diinterpretasikan dengan benar seperti yang telah ditegaskan oleh para Reformator. Pada poin ini pendapat Fred H. Klooster adalah benar: “What then is the uniqueness of Reformed theology? The conclusion which has forced itself upon me is that it is ‘the Scriptural principle.’ The uniqueness of the Reformed churches, of the Reformed confessions and, consequently, of Reformed theology is simply their allegiance to the Scriptural principle” (“The Uniqueness of Reformed Theology: A Preliminary Attempt at Description,” Calvin Theological Journal 14/1 [April 1979] 39).
Selanjutnya ia menjelaskan lebih detail: “‘The Scriptural principle’ has also been called ‘the formal principle of the Reformation.’ It is sometimes expressed by the slogan sola Scriptura. If one searches Calvin’s writings for a recurrent emphasis, this is what one finds: Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent.” Karena itu, tidak-dapat-tidak Alkitab harus menjadi sumber dan patokan bagi teologi atau pengajaran gereja: “The Scriptural principle meant for Calvin—and for all authentic Reformed theologians—that Scripture is the source of one’s teaching, the norm or standard of true doctrine, the source and norm of theology” (“The Uniqueness of Reformed Theology” 43). Nah, pertanyaannya adalah: Apakah Sola Scriptura benar-benar merupakan sumber, patokan, atau standar kita bergereja dan berteologi?
Jikalau gereja Katolik di masa lampau (yaitu pada masa sebelum Luther mengadakan Reformasi) dapat jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan doktrin utama yang dimulai dari sikap mengabaikan atau tidak menjadikan Alkitab sebagai norma dan standar pengajaran gereja, mengapa aneh bila kita sekarang mengatakan bahwa sangat mungkin gereja bisa jatuh dalam kesalahan-kesalahan seperti masa lalu? Saya kira Anthony N. S. Lane telah menuliskan sebuah kalimat dengan tepat: “Sola Scriptura is the statement that the church can err” (“Sola Scriptura adalah pernyataan bahwa gereja bisa salah”; “Sola Scriptura?: Making Sense of a Post-Reformation Slogan” dalam A Pathway Into the Holy Scripture [ed. Philip E. Satterthwaite & David F Wright; Grand Rapids: Eerdmans, 1994] 324).
Jadi, penegasan pada konsep Sola Scriptura secara implisit merupakan pengakuan bahwa gereja dapat melakukan kesalahan, penyimpangan, atau mengajarkan doktrin-doktrin yang keliru. Bila gereja dapat bergeser ke arah pengajaran yang keliru, hal yang sama juga sangat mungkin terjadi pada STT atau institusi Kristen lainnya. Oleh karena itu penekanan Vanhoozer berikut patut diperhatikan, yaitu bahwa gereja (dan terlebih lagi, STT) harus berada di bawah penghakiman Alkitab: “The supreme norm for church practice is Scripture itself: not Scripture as used by the church but Scripture as used by God, even, or perhaps especially, when such use is over against the church” (The Drama of Doctrine 16-17).
Ungkapan yang senada ditandaskan oleh teolog besar Herman Bavinck (1854-1921) pada waktu ia membahas topik Sola Scriptura yang diperbandingkan dengan posisi gereja: “But in the logical order Scripture is the sole foundation (principium unicum) of church and theology. . . . Not the church but Scripture is self-authenticating (αύτοπιστος), the judge of controversies . . ., and its own interpreter (sui ipsius interpres). Nothing must be put on a level with Scripture. . . . Scripture alone is the norm and rule of faith and life” (Reformed Dogmatics: Prolegomena [4 vols.; Grand Rapids: Baker Academic, 2003-2008] 1:86).
Intinya, pimpinan gereja (atau STT atau lembaga Kristen lainnya) mesti menyadari bahwa posisinya harus berada di bawah—benar-benar di bawah—penilaian, penyaringan, dan pengaturan Alkitab sebagai patokan tertinggi dalam pelayanan, bukan sebaliknya, yaitu Alkitab posisinya ditempatkan di bawah gereja, dan tidak bisa juga posisi gereja diletakkan se-level dengan kedudukan Alkitab. Kesalahan penempatan ini sudah melahirkan penyimpangan doktrin yang merusak pelayanan gereja di masa lampau, dan juga sedang merusak gereja di masa kini.
Bila ada yang bertanya: sejauh mana otoritas Alkitab ini harus menghakimi dan mengendalikan pelayanan Kristen, saya rasa ulasan Klaas Runia (1926-2006), teolog Reformed dari Belanda ini, dapat dijadikan rujukan: “Scripture, therefore, is the sole authority in the life of the church, not only with regard to its proclamation, but also with regard to all the other aspects of its life. This authority is not finally dependent on the interpretation of scripture by the church; to the contrary, the church in all its interpretation is bound to the clear message of scripture . . .” (“The Hermeneutics of the Reformers,” Calvin Theological Journal 19/2 [November 1984] 144). Artinya, otoritas Alkitab bukan hanya menghakimi dan mengendalikan pelayanan Kristen di wilayah khotbah dan pengajaran saja, melainkan juga menjadi satu-satunya otoritas untuk seluruh aspek kehidupan gereja dan jemaat.
Sebagai refleksi bagi yang melayani di abad 21 ini, marilah kita bertanya dan melakukan introspeksi: Apakah kita (yang melayani sebagai pendeta, penatua, majelis, atau aktivis komisi di gereja, dosen di STT, atau ketua institusi Kristen lainnya) menempatkan Alkitab sebagai norma atau patokan tertinggi dalam khotbah, pengajaran, dan setiap aktivitas pelayanan kita? Hal ini penting untuk ditanyakan, sebab di masa pascamodern ini cukup banyak pimpinan lembaga, pendeta, dosen, atau mahasiswa teologi yang diam-diam namun secara perlahan dan “halus” berusaha menjauhi, mengurangi, atau tidak memakai Alkitab sama sekali dalam setiap bentuk pelayanan atau perkuliahan yang disampaikan atau yang dipelajari.
Tentu saja sikap atau pendirian semacam ini akan dilakukan secara halus dan tidak akan diungkapkan secara terang-terangan, karena mereka khawatir hal itu akan memicu reaksi keras dari jemaat atau gereja pendukung. Juga barangkali bisa dicek: Apakah dosen-dosen di STT (injili atau bukan) menyampaikan kuliah dengan selalu mengacu pada doktrin atau prinsip Alkitab, atau paling sedikit, mengupayakan integrasi antara Alkitab dengan bidang lainnya (misalnya, psikologi, filsafat, sosiologi)? Apakah dalam perkuliahan dosen-dosen sering mengajak mahasiswanya membaca dan menggali isi Alkitab dengan mengikuti prinsip-prinsip hermeneutik, kaidah-kaidah eksegese, atau langkah-langkah ekspositoris? Jawabannya terpulang pada diri kita di hadirat Tuhan yang mahatahu.
Demikian pula bisa dicek pada gereja-gereja yang secara akte pendiriannya masih memakai nama “Injili,” “Reformed,” atau “Gereformeerd,” apakah pada gereja-gereja tersebut Alkitab masih ditempatkan sebagai norma/patokan tertinggi, serta para rohaniwannya sangat meninggikan Sola Scriptura, sehingga Alkitab menjadi pedoman yang esensial untuk kehidupan, perencanaan program gereja, dan pelayanan? Coba periksa juga dalam konteks pemberitaan firman, bila ada gereja yang mengaku berteologi Reformed atau (istilah yang lebih rame sedikit) “Reformed Episkopal Injili” (coba tebak ada di mana?), tetapi tidak meninggikan Alkitab dalam khotbah dan pelayanan lainnya (apalagi kalau sampai pendetanya dalam berkhotbah sering kelupaan membuka dan membaca Alkitab, atau kadang khotbah sudah berjalan hampir 15-20 menit baru ingat membaca beberapa ayat secara tergesa-gesa), ke-Reformed-annya patut diragukan, sebab Reformed yang beneran sangat meninggikan Alkitab sebagai norma teratas dalam kehidupan, pelayanan, dan lebih-lebih lagi dalam pelayanan mimbar.
APAKAH KITA MEMBIARKAN SOLA SCRIPTURA TERGUSURKAN OLEH SOLA CULTURA?
Sebagai akibat dari pendirian di atas, pada masa kini “cita-cita” sebagian pendeta atau teolog yang melayani di gereja atau STT non-injili adalah berusaha sedapat mungkin meminimalkan pengajaran doktrin tentang Alkitab, dan terutama slogan Sola Scriptura dari para Reformator. Ini adalah sikap yang aneh bin nyata, namun jarang mau diakui, di mana mereka lebih senang mereinterpretasikan Alkitab sedemikian rupa untuk “disesuaikan” (bahasa keren-nya: direlevansikan) dengan situasi zaman atau tempat dengan cara perlahan tetapi pasti mereka sedikit banyak telah berhasil menukar Sola Scriptura menjadi sola cultura.
Gejala seperti ini telah diperkirakan akan terjadi oleh Os Guinness ketika ia menulis: “For all the lofty recent statements on biblical authority, a great part of the evangelical community has made a historic shift. It has transferred authority from Sola Scriptura (by Scripture alone) to Sola Cultura (by culture alone)” (Prophetic Untimeliness: A Challenge to the Idol of Relevance [Grand Rapids: Baker, 2003] 65). Meskipun konteks pembicaraan Guinness adalah “evangelical community” yang berlokasi di dunia Barat, namun bukankah di sini ada gereja atau STT yang sekarang mengaku non-injili sebenarnya dulunya memiliki statement of faith injili, atau bisa juga ada yang lembaganya masih pakai nama “injili” tetapi sebenarnya cuma nama saja; artinya, mereka sudah jauh sekali dari pengakuan iman injili? Mereka inilah yang secara lambat laun, (karena desakan zaman dan demi sebuah obsesi melakukan upaya merelevansikan iman Kristen pada dunia, atau dipicu pergantian pimpinan dan dosen non-injili) telah mengganti slogan Sola Scriptura dengan prinsip sola cultura.
Hal ini tidak berarti iman Kristen boleh mengabaikan kultur; kultur tetap harus dipahami dan didekati dengan kritis, namun prioritas tetap pada Sola Scriptura. Mestinya yang terjadi adalah tidak demikian, dan itulah yang ditekankan oleh Guinness: “From the prophets’ ‘This is the word of the Lord’ to the reformer’s ‘Here I stand; so help me, God, I can do no other,’ the message, not the audience, is always sovereign, and the culture is always potentially the world set over against Christ and his kingdom. To think and live otherwise is to recycle the classic error of liberalism and to court the worldliness, irrelevance, and spiritual adultery that it represents” (Prophetic Untimeliness 66). Maksudnya, message dari Alkitablah yang seharusnya berdaulat, bukan culture. Membalikkan dua hal itu berarti melakukan kesalahan yang pernah dilakukan oleh teologi liberalisme.
Mohon maaf, sekali lagi, saya ulangi: Mari periksa kembali segala agenda, program perencanaan, isi khotbah, pengajaran, dan proyek-proyek gereja atau STT yang kita layani sekarang ini; lebih banyak yang condong ke arah Sola Scriptura atau sola cultura? Saya sungguh terperangah dan heran mengamati adanya gereja atau STT yang lebih mementingkan urusan kultur, sosial dan lingkungan ketimbang yang lebih esensial, yaitu urusan doktrin dan penggalian firman Tuhan. Itulah sebabnya yang dibahas, yang diajarkan dalam kuliah-kuliah, yang disentuh dalam khotbah-khotbah, yang ditulis di jurnal-jurnal STT, adalah lebih banyak urusan sosial (seperti masalah kemiskinan, gelandangan pengemis, pengangguran, anak-anak terlantar), urusan lingkungan hidup (polusi karbon, limbah plastik, global warming, penanganan sampah), urusan HAM (misalnya, ada induk gereja sampai-sampai ketua umumnya ikut melakukan “intervensi” berupa protes terhadap kasus pergantian antar waktu pegawai KPK), dan lain sebagainya. Bahkan, di dalam ibadah chapel sebuah STT, salah satu pokok doa syafaat yang dinaikkan berhubungan dengan urusan pembatasan pemakaian kertas yang dikatakan bersumber dari penebangan pohon, dan itu artinya merusak hutan lindung. Coba pikir: ngapain gereja/STT urusin yang beginian?
Saya tidak katakan urusan sosial, lingkungan, HAM, kultur yang disebutkan di atas tidak penting; semua itu penting, namun bukan yang terpenting dalam konteks tugas dan panggilan terhadap gereja dan STT (kalaupun kita mau terlibat, paling sedikit harus terlihat integrasi yang menyeimbangkan antara “culturally relevant” dan terutama “biblically faithful”). Maksud saya, urusan tugas dan tanggung jawab gereja dan seminari sudah sedemikian banyak, mengapa pula kita harus merambah ke segala macam bidang (politik, ekonomi, sosial, perdagangan, lingkungan hidup, HAM) yang bukan ranah atau bidang pelayanan Kristen, seolah-olah kita kurang kerjaan? Jangan-jangan yang sebenarnya terjadi adalah—kalau dia orang berani berterus terang—ada pihak yang “deep down inside their hearts” sudah tidak PD (percaya diri) lagi dengan Sola Scriptura, tetapi demi supaya terlihat (semakin) kontekstual dan relevan (supaya tidak dibilang “pelarian”), akhirnya yang bersangkutan merasa nyaman dan menikmati wilayah “permainan” sola cultura.
Sangat mungkin inilah yang disebut oleh Guinness sebagai “idol of relevance.” Menurutnya, “By our uncritical pursuit of relevance we have actually courted irrelevance; by our breathless chase after relevance without a matching commitment to faithfulness, we have become not only unfaithful but irrelevant; by our determined efforts to redefine ourselves in ways that are more compelling to the modern world than are faithful to Christ, we have lost not only our identity but our authority and our relevance. Our crying need is to be faithful as well as relevant” (Prophetic Untimeliness 15). Gereja atau STT injili atau non-injili, Reformed atau setengah Reformed, Ekumenikal atau independen, Pentakosta atau Karismatik, perlu bercermin pada kalimat-kalimat di atas, teristimewa bila mereka mulai atau sudah terobsesi dengan relevansi yang liar, kontekstualisasi yang kebablasan, melulu mengejar kuantitas/jumlah, dan lebih mengutamakan kemajuan ketimbang kualitas, sambil dengan sadar (atau tanpa sadar) mengorbankan hal-hal yang esensial, khususnya berkenaan dengan kesetiaan pada firman Tuhan. Saya rasa kita perlu bertobat sekali lagi karena hal ini!
PENUTUP
Sebagai kesimpulan, mari kembali pada pertanyaan di judul tulisan ini: Apakah gereja, STT, lembaga pelayanan kita memiliki latar belakang Reformasi? Bila ya, seberapa jauh konsep Sola Scriptura secara definitif dan direktif menentukan orientasi dan arah pelayanan kita? Apakah gereja, STT, lembaga pelayanan kita perlahan-lahan melalui pergantian pimpinan, pengurus, ketua, dan hamba Tuhan antar-generasi mulai terpengaruh oleh roh zaman ini dengan akibat terciptanya sebuah suasana pelayanan yang perlahan-lahan meredupkan penggalian Alkitab yang adalah firman Allah sambil meninggikan segala bentuk program sekular demi supaya terlihat relevan dengan zaman ini?
Sebenarnya itulah yang merusak gereja Protestan di Jerman di abad 19 serta gereja di Amerika Serikat di awal abad 20, dan yang juga sedang merusak gereja atau institusi teologi di Barat maupun di Indonesia di abad 21 ini. Maka, menurut saya, gereja dan institusi teologi di zaman sekarang perlu kembali pada pendirian dan pengajaran Reformasi di abad 16. Kita perlu sungguh-sungguh kembali berkomitmen pada konsep Sola Scriptura dari para Reformator, dan setia mengaplikasikannya pada zaman ini.
Dunia sekarang ini sedang berada dalam pusaran waktu yang semakin berubah-ubah dan serba tidak menentu, terlebih di tengah pandemi yang berkepanjangan. Gereja dan kekristenan juga berada dalam situasi perubahan yang masif dan semakin membuat para pelayan di dalamnya merasa bingung dan apatis, terutama karena semakin merebaknya pengajaran yang berbeda-beda pada masa kini. Dunia dan gereja sedang berhadapan dengan pelbagai macam teologi yang tidak sehat bermunculan di sana-sini, terutama dengan semakin menjamurnya bidat atau sekte yang berkibar dengan bebas melalui dunia digital.
Apakah dengan demikian gereja dan para pendeta/dosen pada zaman ini membutuhkan teologi yang solid dan sehat? Kalau pertanyaan itu disampaikan, barangkali ada yang menjawab: jelas membutuhkan. Tetapi, apakah gereja dan para pendeta/dosen peduli dan mementingkan teologi yang solid dan sehat? Saya menduga—maafkan kalau saya keliru—jawabannya: belum tentu peduli dan mementingkan, apalagi bila yang bersangkutan hanya maunya yang praktis-praktis dan tidak peduli dengan pemikiran teologi sistematika. Jadi, apa yang dipentingkan atau dipedulikan oleh gereja atau STT di zaman pragmatis ini?
Selama 36 tahun lebih melayani Tuhan di gereja dan seminari, jarang saya menjumpai pendeta atau majelis/aktivis yang bertanya dan peduli terhadap pengajaran yang sehat di jemaatnya. Lebih sering mereka bertanya tentang: bagaimana mencari atau menemukan hamba Tuhan yang mampu membuat gereja bertumbuh dan maju (mintanya pendeta yang ngerti church growth atau untuk konteks masa kini, pendeta yang ngerti dunia digital dan mampu exist dengan subscribers yang terus bertambah), bagaimana mengupayakan penambahan memberships atau anggota gereja, bagaimana melakukan marketing the church (yang ujung-ujungnya soal pertambahan anggota)? Apa jadinya gereja di masa depan bila yang dipikirkan (baca: yang dipentingkan) adalah soal jumlah dan banyaknya jemaat tanpa peduli tentang kualitas anggotanya?
Lima ratus tahun lebih yang lalu, mulai dari Martin Luther, yang diteruskan oleh Yohanes Calvin serta Reformator lainnya, mereka seakan-akan menegaskan sebuah proklamasi: gereja yang solid dan sehat harus dimulai dengan teologi atau pengajaran yang solid dan sehat, dan pengajaran yang solid dan sehat selamanya tidak dapat diceraikan dari doktrin yang benar tentang Alkitab, sebab jikalau tidak, sangat mungkin gereja, STT, atau institusi yang saudara layani sekarang ini akan berubah jauh dari visi-misi pendiri (yang foto atau patungnya masih ada terpajang), seperti yang sudah terjadi pada Harvard University. Heran sekali, bila anda begitu tega membiarkan itu terjadi pada lembaga, gereja, atau STT yang saudara layani!