Berhenti Melayani, (Lalu) Kembali Melayani: Belajar Dari Yohanes Markus

(Artikel ini dapat terwujud berkat usulan seorang alumnus SAAT, pendeta senior yang saya hormati, yang disampaikan lewat WA 24 Juni 2021, yakni agar saya dapat memberikan sebuah pandangan inspiratif mengenai situasi masa kini yang menurunkan semangat pelayanan banyak orang.  Saya menyampaikan terima kasih buat ide yang berharga ini.)

PRAKATA

Minggat” adalah kata yang mengungkapkan peristiwa ketika seseorang pergi tanpa permisi, tidak meminta izin atau tidak berpamitan.  Yang paling sering terjadi adalah seorang istri atau ibu rumah tangga—setelah pertengkaran hebat yang berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian dengan suami—memilih pergi tanpa ba-bi-bu alias tidak ngomong apa-apa bleng menghilang, dan biasanya “tempat perlindungan” yang dituju adalah ke rumah papa-mama kandungnya.  (Sebaliknya, yang lebih jarang terjadi adalah seorang suami atau kepala rumah tangga yang minggat, dan kalau pun ini terjadi bisa saja karena ia kalah TKO dalam perkelahian atau duel dengan pasangannya yang ternyata lebih galak, pandai bersilat lidah, menguasai ilmu bela diri, dan lebih dominan di segala sektor dan kemampuan.)

            “Minggat” dapat berkonotasi “melarikan diri” bila yang melakukannya adalah para narapidana yang “belum lulus” dari LPK namun memilih untuk “mewisuda” dirinya sendiri dengan jalan membobol dinding penjara atau menggangsir tanah bagaikan tikus gurun (yang ginian jelas satu rumpun dengan kadal gurun) atau gerilyawan dalam perang Vietnam.  Makna “melarikan diri” juga dapat disematkan pada pengusaha atau professional yang tiba-tiba minggat atau lenyap bagai ditelan bumi, disebabkan oleh yang bersangkutan terbelit utang menggunung yang tak terbayarkan.  Intinya, peristiwa minggat dipicu oleh suatu situasi yang tidak menyenangkan, dan pelakunya merasakan kepayahan, kelelahan, atau kegagalan menghadapi problem dan hari depannya.

            Barangkali itulah yang terjadi pada seorang pemuda dewasa yang bernama Yohanes Markus, sebab di tengah kesibukan pelayanan gereja mula-mula dan perjalanan misi pertama bersama dengan “ . . . Paulus dan kawan-kawannya . . . Yohanes [Markus] meninggalkan mereka lalu kembali ke Yerusalem” (Kisah 13:13).  Tidak jelas di sini apakah Markus minggat atau kabur begitu saja, atau ia pergi dengan permisi dan berpamitan, namun tidak direstui oleh Paulus dan rekan-rekan lainnya.  Yang jelas: tindakan Markus yang cau secara tiba-tiba itu membekas dalam ingatan Paulus setelah lewat sejangka waktu.  Terbukti ketika belakangan diusulkan agar Markus dilibatkan kembali dalam pelayanan misi, Paulus terang-terangan menyatakan keberatannya dan “dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta [Markus] yang telah meninggalkan mereka di Pamfilia dan tidak mau turut bekerja bersama-sama dengan mereka” (Kisah 15:38).  Gara-gara urusan inilah, teamwork Paulus-Barnabas akhirnya pecah kongsi dan tercerai-berai (Kisah 15:39).

MARKUS ADALAH SIMBOL QUITTER

            Sebenarnya Markus tampaknya sudah sejak muda pernah berjumpa dengan Kristus dan menjadi orang percaya.  Itulah alasannya ia disebut oleh rasul Petrus di hari tuanya dengan sapaan hangat “anakku” (1Ptr. 5:13; anak rohani; spiritual son).  Selain ada Barnabas yang dikatakan sebagai sepupunya (Kol. 4:10; Barnabas dan mamanya Markus adalah saudara kandung), ibunya, Maria, tercatat sebagai “committed Christian” yang menjadikan rumahnya tempat persekutuan doa pertama bagi jemaat mula-mula pada kira-kira tahun 44 AD (Kisah 12:12).  Dengan begitu, sangat mungkin ia dibesarkan di lingkungan saleh, keluarga yang cukup terpandang (tampaknya keluarga Rufus dan Barnabas cukup kaya dan banyak property-nya; Kisah 4:36-37), dan sering berjumpa dengan orang-orang beken waktu itu seperti para rasul/diaken/orang awam yang terbeban pada misi dan pelayanan pertumbuhan gereja.

            Setelah beberapa waktu berlalu, dalam Kisah 13:5 (sekitar 45 AD), Markus dipanggil untuk berbagian dalam pelayanan dan ia disebut sebagai pembantu para rasul.  Istilah “pembantu” (Yun. hypēretēs atau hupēretēs) yang maknanya adalah “helper” atau “assistant,” tidak berarti ia cuma sekadar pembantu, staf, atau ajudan untuk mengumpulkan perlengkapan-perlengkapan semata-mata (semacam koster gereja), atau hanya mengurus konsumsi, atau apalagi hanya menolong membawakan alat/barang yang dipakai para rasul.  Saya rasa tafsiran Ben Witherington III ada benarnya.  Menurutnya, hypēretēs dalam Kisah 13:5 dapat memiliki “a variety of senses but its general sense is of a servant or helper, any subordinate assistant. . . .  Presumably Mark helped in preaching and teaching in some way, but Luke does not care to be more specific.  He is in any case not portrayed as a major figure in this venture” (The Acts of the Apostles: A Socio-Rhetorical Commentary [Grand Rapids: Eerdmans, 1998] 395).

            Artinya, meskipun Markus bukan tokoh sentral dalam perjalanan misi yang dikomandoi Paulus, namun ia bukan hanya membantu urusan betak-betuk sarpras (sarana prasarana) saja, melainkan juga terlibat dalam pelayanan khotbah, pembimbingan, dan pengajaran.  Boleh juga ia disetarakan dengan instruktur rookie (pemula) yang memberikan semacam katekisasi bagi petobat baru, atau bisa juga dikatakan apa yang dilakukannya mirip dengan pelayanan mahasiswa teologi yang sedang praktik membantu pelayanan gereja atau mission trip, atau lebih dari itu, bisa disejajarkan dengan seorang hamba Tuhan yang di gereja yang sering disebut sebagai penginjil atau penatua tugas khusus.

           Tetapi, entah kenapa Markus tiba-tiba meninggalkan pelayanan sebagaimana yang diungkapkan Kisah 13:13 (“tetapi Yohanes meninggalkan mereka lalu kembali ke Yerusalem”).  Kata “meninggalkan” (Yun. apochōreō) dalam lingkup Gerika klasik umumnya memiliki konotasi militer bagaikan tentara yang “mundur ke belakang” (karena kalah dalam pertempuran), atau paling sedikit menunjukkan bahwa ia pergi meninggalkan pelayanan sebab ia jenuh atau takut menghadapi kesulitan.  Konteks dekat (Kisah 13:3-12) sangat mendukung interpretasi ini, yaitu medan pelayanan yang mereka hadapi di Siprus ternyata sulit bukan main, minim buah/hasil yang diharapkan (hanya satu orang petobat), dan kemudian timbul oposisi dari penguasa dan juga kuasa kegelapan.

            Belum lagi ia yang lebih junior melihat Paulus sebagai seorang yang senang travel, pergi ke sana-sini, dan kelihatannya ia memiliki energi yang banyak sekali dan tidak habis-habisnya.  Paulus yang agak workaholic ini sama sekali tidak pernah terlihat kelelahan, apalagi burn-out, dalam melakoni perjalanan lewat laut, darat, padang gurun, dan naik gunung turun ke lembah.  Tambahan pula, sang rasul mempunyai rencana perjalanan yang banyak sekali, dari satu kota ke kota lain, mission trip ke tempat-tempat yang baru, bahkan tempat-tempat yang belum pernah dijelajahi, khususnya rancangan untuk menjangkau bangsa-bangsa lain (gentiles).  Ketika mempelajari situasi pelayanan yang sedemikian berat (dan bisa juga karena ia tidak sepaham dengan rencana menjangkau bangsa-bangsa kafir), ia tiba-tiba menjadi kecut hati, tidak berani memasuki tahap perjalanan misi selanjutnya, mulai merasa homesick atau merindukan suasana nyaman di kampung halamannya.

            Namun minggatnya Markus secara prematur dari pelayanan menorehkan stigma pada dirinya sebagai simbol quitter (peminggat, penyerah, pecundang), seseorang yang gagal total dalam kehidupan pelayanannya (ada penulis yang malah memberikan label kepadanya sebagai New Testament Jonah”; “Yunus dari PB”).  Maka, tidak heran Paulus teringat terus pada sang quitter dan tidak bisa memaafkan peristiwa desersi atau pergi-tanpa-restu yang telah terjadi beberapa periode sebelumnya.  Di hadirat sang rasul, komitmen orang semacam Markus telah lenyap dan karirnya seharusnya sudah tamat.

            Situasi sulit di masa pandemi sekarang ini ternyata juga tidak mudah atau malah berat bagi para hamba Tuhan, penginjil, penatua, majelis, mahasiswa teologi, maupun aktivis awam yang melayani.  Oleh karena itu perkenankan saya langsung bertanya tentang status dan situasi kita: Apakah ada di antara kita yang sedang berpikir akan berhenti melayani atau meninggalkan ladang pelayanan sehubungan dengan suasana beratnya medan pelayanan sekarang ini?  Ataukah ada juga pendeta, penatua, murid seminari, atau aktivis yang sudah terlanjur berhenti melayani secara tiba-tiba karena merasa kecewa atau burn-out menghadapi persoalan yang pelik dalam melayani?

            Hal ini perlu saya tanyakan sebab di Amerika Serikat, misalnya, cukup banyak pendeta atau pelayan Tuhan yang memilih berhenti melayani sehubungan dengan: persoalan datangnya pandemi (https://churchleaders.com/news/396413-reports-of-an-unsettling-trend-of-pastors-leaving-the-ministry.html; bdk. https://churchanswers.com/blog/six-reasons-your-pastor-is-about-to-quit/comment-page-15/), pertentangan atau pro-kontra teori konspirasi yang melelahkan (https://religionnews.com/2021/05/07/for-some-pastors-the-past-year-was-a-sign-that-it-was-time-to-quit/), menurunnya keanggotaan atau memberships pada banyak jemaat berbagai denominasi di masa pandemi (https://www.centredaily.com/news/local/article247989585.html), apalagi selama satu tahun belakangan ini, 29 persen pendeta sudah berencana untuk quit dari pelayanan (https://careynieuwhof.com/29-of-pastors-want-to-quit-how-to-keep-going-when-youve-lost-confidence-in-yourself/; bdk. https://churchleaders.com/pastors/pastor-articles/399595-pastors-in-crisis-reasons-why-so-many-ministers-are-considering-quitting-vocational-ministry.html).

            Saya belum memiliki data yang kredibel mengenai persoalan ini dari lingkungan gereja atau pelayanan Kristen di Indonesia, namun bila situasi pandemi yang berat sekarang ini—selain mengakibatkan munculnya quitters pada anggota jemaat (pindah gereja, “shopping” ke gereja sana-sini, atau malah berhenti ke gereja dan tidak ikut ibadah sama sekali)—juga menyebabkan lesunya atau mundurnya para pendeta, penginjil, penatua, majelis, maupun aktivis, dari pelayanan, saya rasa gejala ini perlu dicermati dengan keprihatinan yang mendalam.  Saya berharap karir pelayanan kita tidak berakhir (sebagaimana praduga Paulus tentang Markus), sebab kisah tentang tokoh Markus belum selesai pada simbol quitter.

MARKUS ADALAH SIMBOL SESEORANG YANG BANGKIT KEMBALI DARI KEGAGALAN

           Beberapa tahun setelah Markus meninggalkan pelayanannya, Barnabas ingin mengundangnya bergabung kembali.  Tetapi Paulus dengan tegas menolak, dan lebih jauh lagi ia berkata “tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka di Pamfilia” (Kis. 15:38).  Istilah “apostanta” yang dipergunakan di sini bernada keras dan dapat diterjemahkan bukan hanya “meninggalkan” atau “menarik diri,” tetapi juga memiliki konotasi “membelot” atau lebih jauh lagi, “murtad.”  Artinya, bagi Paulus, pelayanan misi memerlukan komitmen, disiplin, dedikasi, pengorbanan, dan daya tahan yang tinggi; semuanya itu tidak dimiliki oleh Markus, dan kalau orang yang sudah pernah minggat itu diajak melakukan pelayanan bersama kembali, orang itu akan membahayakan keseluruhan agenda perjalanan misi mereka.

           Rasul yang bersikap keras dan task-oriented ini tampaknya tidak mau mendengarkan penjelasan bahwa Markus sudah berubah (pernah lihat pemimpin yang wataknya keras seperti ini?).  Itulah sebabnya ia akhirnya berselisih tajam dan berpisah dengan Barnabas untuk urusan yang satu ini.  Dalam kasus ini, saya kira Paulus sebagai rasul juga bisa keliru atau salah menilai tentang seseorang.  Markus memang pernah melakukan kesalahan dan kegagalan, tetapi ia ternyata tidak gagal terus-menerus; ia adalah seorang yang belajar dari satu kegagalan yang fatal tersebut dan dalam kemurahan Tuhan bangkit kembali serta mengoreksi dirinya.

           Bukankah dari perspektif ini: kita semua sesungguhnya adalah Markus-Markus di ladang pelayanan Tuhan pada zaman ini?  Maksud saya, saudara dan saya pernah melakukan kesalahan dan sebagian berujung pada kegagalan, bukan?  Hebat sekali bila di antara anda yang membaca tulisan ini tidak pernah membuat kesalahan apa pun dalam pelayanan atau dalam kehidupan ini.  Nabi-nabi di PL dan rasul-rasul (misalnya, Paulus atau Petrus) saja pernah melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan.  Jadi, bagaimana?  Rasanya manusiawi dan kristiani sekali kalau kita mengaku bahwa kita bisa berubah, khilaf, alpa, lalai, sombong, keras kepala, tidak berhikmat, mengandalkan diri sendiri, dan akhirnya melakukan satu kesalahan yang fatal, bahkan kesalahan demi kesalahan, sehingga mengakibatkan kegagalan, kemerosotan, atau yang paling menyedihkan, kehancuran pelayanan di ladang Tuhan.

           Pertanyaan yang lebih penting setelah itu adalah: Apakah kita belajar dari kesalahan, ataukah terbenam dalam kegagalan?  Pertanyaan tersebut terjawab sudah dalam episode kehidupan Markus.  Sekalipun Alkitab tidak mencatat secara detail, tampaknya ia benar-benar mengoreksi diri dan berubah dalam anugerah Tuhan.  Lalu ia menjadi dewasa di dalam Kristus, bangkit kembali dari keterpurukan, dipulihkan dari kegagalan, dan maju kembali dalam pelayanan.

           Sepuluh tahun setelah penolakan yang tercatat dalam Kisah 15:37-39 itu, Paulus menulis demikian dari dalam penjara di Roma: “Salam kepada kamu dari Aristarkhus, temanku sepenjara dan dari Markus, kemenakan Barnabas—tentang dia kamu telah menerima pesan; terimalah dia, apabila dia datang kepadamu—” (Kol. 4:10; “Aristarchus my fellow prisoner greets you, and Mark the cousin of Barnabas [concerning whom you have received instructions—if he comes to you, welcome him]”; ESV).

           Apa artinya?  Artinya, Paulus bukan hanya meminta jemaat di sana menyambut Markus (barangkali ada jemaat yang kasak kusuk sudah dengar kabar angin atau gosip tentang masa lalunya Markus dan mulai ragu menerima kehadirannya), tetapi juga memberikan sejenis surat rekomendasi untuk “merehabilitasi” dan sekaligus melupakan peristiwa penolakan yang terjadi sebelumnya.  Lebih dari itu beberapa waktu selanjutnya, dalam Filemon 24 ia menyebut Markus sebagai “fellow worker” (rekan atau teman sekerja).  Hal ini merupakan indikasi bahwa ia seperti secara halus “meminta maaf” dan mengakui ia telah keliru menilai tentang Markus yang ternyata memang benar-benar sudah berubah.

           Menurut C. K. Barrett, komentar Paulus yang bernada sejuk tentang Markus menunjukkan adanya sebuah “good hint of later reconciliation” (“tanda baik rekonsiliasi [yang terjadi] belakangan [di antara mereka]”; (Acts of the Apostles: A Shorter Commentary [London: T & T Clark, 2002] 200).  Wah, terasa sapaan itu indah sekali!  Bayangkan, tadinya gara-gara urusan orang ini, Paulus bukan hanya mantap menolaknya, tetapi ia sampai tega pecah teamwork dengan Barnabas.

           Sekarang, setelah 12 tahun berlalu, Markus sudah bukan Markus yang yang membawa stigma quitter (peminggat) dan yang melalaikan tanggung jawab begitu saja; ia yang sebelumnya cuma disebut “pembantu” (hypēretēs) sekarang sudah dianggap se-level, yaitu serekan kerja dengan sang rasul.  Sangat mungkin Paulus sungguh mati tidak pernah menduga: Markus yang tadinya gampang homesick dan memilih “kabur” dari pos pelayanan misi, ternyata belakangan berani mempertaruhkan nyawanya pergi menyeberangi Laut Tengah, mendarat di kota Alexandria, memberitakan injil, dan mendirikan jemaat yang menjadi cikal bakal Gereja Koptik—salah satu gereja tertua—yang masih ada sampai hari ini di Mesir.  Itulah sebabnya, menjelang hari kematiannya di bawah Kaisar Nero, Paulus menuliskan kalimat yang sangat pribadi dan menyentuh ini dari kota Roma: “Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku” (2Tim. 4:11b).

PENUTUP

           Tokoh gereja Papias (60-130 AD) mencantumkan fakta bahwa Markus—setelah fase kegagalannya dalam Kisah 13—dalam perkembangan selanjutnya menjadi semacam sekretaris atau penerjemah (interpreter; Yun. hermeneutes) dari Petrus (yaitu membantu sang rasul menerjemahkan bahasa Aramaik ke dalam bahasa Yunani).  Dari sinilah Markus menuliskan kisah tentang Tuhan Yesus melalui tuturan atau khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Petrus, sehingga hadir yang disebut Injil Markus yang ditulis antara 55-59 AD.

            Konten Injil Markus sangat sarat bernuansa “kristologi yang penuh action,” yakni cerita tentang Yesus yang lebih banyak bertindak ketimbang berbicara (itulah sebabnya Injil Markus hanya terdiri dari 678 ayat; bandingkan dengan Matius 1071, Lukas 1151, dan Yohanes 878).  Mungkinkah Injil yang ringkas dan padat ini mencerminkan kepribadian dan kekhasan sang penulis, yaitu seseorang yang senang melayani sebagai interpreter, merekam dan menulis kisah, namun juga terutama adalah seorang yang sering bergerak dan senantiasa melakukan aksi pelayanan yang esensial bagi Kerajaan Sorga?  Karena itulah di hari tuanya, Paulus membuat catatan pujian: “pelayanannya penting bagiku.”  Luar biasa, bukan, tokoh Markus ini: seseorang yang pelayanannya penting bagi dua orang rasul yang besar, yaitu Petrus dan Paulus!

            Namun, jangan lupa: orang yang disebut “pelayanannya penting” bagi rasul besar itu adalah seseorang yang sebelumnya pernah melakukan kesalahan, mengalami kegagalan, dan lebih dari itu pernah di-persona-non-grata-kan oleh sang rasul.  Dalam masa pandemi sekarang ini, bisa saja kita juga akan menemukan Yohanes Markus-Yohanes Markus sebagaimana yang ada di Kisah 13, yang meninggalkan panggilan dan pelayanan.  Tetapi kita juga akan menemukan Yohanes Markus yang disebut Paulus sebagai rekan sekerja yang keberadaannya penting bagi Kerajaan Sorga, sebab ia tidak mau terus menerus menyandang simbol quitter dan ia tidak sudi membiarkan kesalahan dan kegagalan yang pernah terjadi yang menentukan masa depan pelayanannya.

            Perlu dicatat tokoh Markus juga tidak sudi menjalani dan menikmati sebuah kehidupan yang mudah, tenang, dan menyenangkan di kampung halamannya, sebab tradisi gereja menginfokan bahwa ia datang dari keluarga kaya dan mewarisi earthly inheritance (warisan kekayaan materi) dengan rumah besar, harta yang melimpah, dan banyak pelayan yang bekerja di rumahnya.  Jadi, ngapain ia melakukan perjalanan misi, pergi menyeberangi Laut Mediterranean, tinggal di kota Alexandria, memberitakan injil, dan mendirikan jemaat di sana dan di beberapa kota lainnya?  Jawabnya adalah karena hidupnya hanya terfokus pada Kristus, di mana Kristus yang penuh action itu juga mewarnai pelayanannya yang penuh action bagi Kerajaan Sorga.  Pelayanan inilah ia melaksanakan terus menerus sampai kematian secara martir menjemputnya di Alexandria pada tahun 68 AD.

            Saya tidak tahu apakah ada di antara kita yang melayani sebagai pendeta, dosen, penginjil, penatua, majelis, mahasiswa teologi, atau juga pendeta senior/emeritus, yang saat ini merasa begitu putus asa, menyalahkan situasi pandemi yang berkepanjangan, serta yang sedang berpikir akan meninggalkan pelayanan di gereja, seminari, lembaga Kristen, atau pun meninggalkan panggilan mula-mula.  Bila ada yang memilih tetap melayani, tetapi sebenarnya di dalam hati mulai bersikap apatis dan kurang bersemangat mengerjakan tugas-tugas pelayanan, lebih banyak berdiam diri di rumah, sambil duduk terus menerus menatap gadgets, menonton film/video atau main game yang tidak habis-habisnya, dan sama sekali tidak berbuat apa-apa yang signifikan bagi Tuhan dan Kerajaan Sorga, saya rasa kita benar-benar harus belajar dari Yohanes Markus, sebab ia memilih tidak mau menjadi orang yang seperti itu.  Ia bangkit kembali dari kegagalan masa lalu dan dengan penuh action mengisi hari-hari pelayanan selanjutnya dengan catatan tinta emas bagi gereja dan Kerajaan Sorga.  Komitmen demikianlah yang harus kita miliki dan, terutama, kita kerjakan dengan sungguh-sungguh mulai hari ini!